Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Ustadz, tentang hukum insentif penjualan (bonus kepada pelanggan jika mencapai penjualan tertentu). Ada fenomena yang kami lihat di lapangan, bonus yang diberikan penjual kepada pelanggan disalahgunakan oleh oknum karyawan perusahaan. Khususnya bonus uang tunai (cash back).
Sang karyawan mendapat tugas dari perusahaan untuk membeli barang tertentu, katakanlah tinta printer seharga Rp 450 ribu, kemudian dia mencari toko yang memberikan cash bonus (cash back), misalkan Rp 50 ribu.
Pada kwitansi penjualan, tertulis Rp 450.000,- resmi dari toko penjual, sedangkan cash back Rp 50 ribu tidak tertulis di faktur, sehingga sering diambil secara pribadi oleh karyawan, sedangkan pemilik perusahaan tidak mengetahui hal ini.
Bagaimana dengan hal ini, apakah jika niat toko yang memberikan hadiah (cash back) ditujukan agar menarik pembeli dari kalangan perusahaan, dimana cash back tersebut diyakini akan diambil oknum karyawan dan sengaja tidak ditulis di faktur penjualan merupakan praktek suap terselubung? masuk sebagai hilah (tipu muslihat) dari suap menyuap?
Mohon penjelasannya, insya Allah jawaban ustadz akan kami masukkan sebagai tambahan jawaban sebelumnya, mengingat ada komentar dari pembaca di Facebook pengusaha muslim tentang jawaban tersebut, bahwa bagaimana jika bonus tersebut diambil oleh individu bagian pembelian dan tidak kembali ke perusahaan. Jazakallahu Khairan.
Wassalamu 'alaikum
Tim Pengusaha Muslim
Jawaban:
Wa'alaikumussalam
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Mengenai bonus penjualan yang diberikan kepada pegawai perusahaan atau instansi pemerintahan, sebagaimana yang diceritakan pada soal di atas, maka seharusnya bonus tersebut dikembalikan kepada perusahaan atau instansi terkait. Tidak dibenarkan bagi pegawai tersebut untuk mengambilnya. Sebagaimana ia juga tidak dibenarkan untuk diam melihat penjaga toko menuliskan fatur yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga yang seharusnya ia tuliskan Rp 400.000, akan tetapi dituliskan Rp 450.000.
Pada praktek semacam ini terdapat beberapa kemungkaran:
1. Penipuan, karena pegawai tersebut akan melaporkan pembeliannya ke kantor tempat ia bekerja, baik perusahaan atau instansi pemerintah dengan laporan yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Laporan bohong tersebut bisa saja ia sampaikan secara tertulis, misalnya dengan menyerahkan faktur bohong tersebut dan bisa juga dalam bentuk laporan pembelian atau pekerjaan yang ia susun atau bisa juga berupa laporan lisan. Tentu ini adalah perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Dan ini adalah salah satu bentuk pengkhianatan dan penipuan.
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barang siapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami." (Riwayat Muslim)
2. Salah satu bentuk suap. Insentif ini bila dimaksudkan sebagai hadiah dari pemilik toko kepada pegawai terkait yang diberi tugas membeli barang, maka itu adalah salah satu bentuk suap, dan itu nyata-nyata diharamkan dalam Islam.
عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ رضي الله عنه قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مِنَ الأَسْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ، قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا لِى أُهْدِىَ لِى. قَالَ: فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ : مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِىَ لِى، أَفَلاَ قَعَدَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِى بَيْتِ أُمِّهِ، حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لاَ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا، إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ. ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ. مَرَّتَيْنِ متفق عليه
Abu Humaid As Sa'idy radhiallahu 'anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menugaskan seseorang dari bani Al Asad, yang dikenal dengan panggilan: Ibnu Al Lutbiyah untuk mengumpulkan zakat, dan ketika ia telah selesai dari tugasnya, ia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ini zakat yang berhasil aku kumpulkan, dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku." Mendengar ucapan itu, segera Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke mimbar, lalu membaca puji-pujian kepada Allah, dan bersabda: "Mengapa seorang petugas yang aku utus berkata: 'Ini zakat yang berhasil aku kumpulkan, dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku', tidakkah ia berdiam diri di rumah ibu atau ayahnya, agar ia mengetahui apakah ada orang yang memberinya hadiah atau tidak? Sungguh demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah ada seseorang dari kalian yang mengambil hadiah semacam itu, melainkan kelak pada hari kiamat ia akan memanggulnya dalam bentuk onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembek." Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tinggi-tinggi kedua tanganya, hingga kami dapat menyaksikan bulu ketiaknya, lalu berkata: "Apakah aku telah menyampaikan hal ini kepada kalian?" dua kali. (Muttafaqun 'alaih)
Berdasarkan hadits ini, para ulama' mengharamkan atas para pejabat atau pegawai perusahaan untuk menerima hadiah yang ada kaitannya dengan tugas yang ia kerjakan. (Jawaban ini selaras dengan fatwa Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, no: 7520).
3. Pengkhianatan terhadap amanah. Bisa saja karena ambisi mendapatkan insentif, seorang pegawai tidak memperhatikan kemaslahatan perusahaan atau instansi pemerintah tempat ia bekerja. Mungkin saja dari sekian banyak toko atau penyedia jasa banyak yang menawarkan harga lebih murah. Akan tetapi karena mereka tidak memberi insentif atau mungkin juga insentif yang mereka berikan lebih kecil, akhirnya ia memilih toko yang menjual barang dengan harga mahal, demi mendapatkan insentif yang lebih besar. Dan betapa sering mutu barang tidak diperhatikan, hanya karena menuruti ambisi mendapatkan insentif yang besar. Tentu sikap ini adalah salah satu bentuk pengkhiatan terhadap amanah yang telah ia pikul sebagai seorang pegawai.
Para ulama' fiqih telah menjelaskan bahwa: barang siapa bertindak mewakili orang lain, maka ia berkewajiban untuk melakukan yang terbaik. Beda halnya bila ia bertindak untuk dirinya sendiri, ia bebas memilik sesuka hatinya.
Sebagaimana mereka juga menyatakan bahwa: harta beserta turunannya adalah hak pemiliknya. Dan tidak diragukan bahwa uang yang digunakan untuk membeli dan juga segala hak yang terkait dengan uang dan barang yang dibeli dengannya adalah hak pemilik perusahaan atau instansi pemerintah terkait.
Dengan demikian sikap ini menyelisihi firman Allah Ta'ala
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya." (Qs. An Nisa': 58)
Dan berikut adalah salah satu contoh nyata bagaimana seorang pegawai seharusnya bersikap:
عن عُرْوَةَ بن أبي الجعد البارقي رضي الله عنه أَنَّ النبي صلى الله عليه و سلم أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي له بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى له بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا له بِالْبَرَكَةِ في بَيْعِهِ. وكان لو اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فيه. رواه البخاري
"Dari sahabat Urwah bin Abil Jaed Al Bariqy radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberinya uang satu dinar agar ia membelikan seekor kambing untuk beliau, maka sahabat Urwah dengan uang itu membeli dua ekor kambing, lalu menjual salah satunya seharga satu dinar. Dan iapun datang menghadap Nabi dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing. Kemudian Nabi mendoakannya agar mendapatkan keberkahan dalam perniagaannya. Sehingga andaikata ia membeli debu, niscaya ia akan mendapatkan keuntungan padanya." (Riwayat Al Bukhory)
Demikianlah etika seorang pegawai pengemban amanah yang benar-benar mencerminkan kepribadian seorang muslim sejati. Sahabat Urwah radhiallahu 'anhu bukan hanya berusaha membeli seekor kambing yang memenuhi persyaratan yang diinginkan, akan tetapi beliau melebihi itu semua. Beliau berusaha untuk mendapatkan harga yang termurah dengan mutu yang terjamin, dan mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh, bukannya beliau ambil sendiri, akan tetapi dikembalikan kepada pemberi amanah.
Saudaraku! Demikiankah sikap anda bila menerima amanah atau mendapatkan kepercayaan dari orang lain, baik instansi pemerintahan atau perusahaan atau perorangan?
Bukankah anda menginginkan agar rizki yang anda peroleh dari pekerjaan anda selama ini mendapatkan keberkahan dari Allah? Demikianlah saudaraku, caranya anda menunaikan amanah agar penghasilan anda diberkahi.
Semoga saudara-saudaraku sekalian dimudahkan untuk menunaikan amanah, sehingga penghasilan saudaraku sekalian diberkahi Allah. Wallahu a'alam bisshawab.
Wassalamu'alaikum
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
http://pengusahamuslim.com
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Ustadz, tentang hukum insentif penjualan (bonus kepada pelanggan jika mencapai penjualan tertentu). Ada fenomena yang kami lihat di lapangan, bonus yang diberikan penjual kepada pelanggan disalahgunakan oleh oknum karyawan perusahaan. Khususnya bonus uang tunai (cash back).
Sang karyawan mendapat tugas dari perusahaan untuk membeli barang tertentu, katakanlah tinta printer seharga Rp 450 ribu, kemudian dia mencari toko yang memberikan cash bonus (cash back), misalkan Rp 50 ribu.
Pada kwitansi penjualan, tertulis Rp 450.000,- resmi dari toko penjual, sedangkan cash back Rp 50 ribu tidak tertulis di faktur, sehingga sering diambil secara pribadi oleh karyawan, sedangkan pemilik perusahaan tidak mengetahui hal ini.
Bagaimana dengan hal ini, apakah jika niat toko yang memberikan hadiah (cash back) ditujukan agar menarik pembeli dari kalangan perusahaan, dimana cash back tersebut diyakini akan diambil oknum karyawan dan sengaja tidak ditulis di faktur penjualan merupakan praktek suap terselubung? masuk sebagai hilah (tipu muslihat) dari suap menyuap?
Mohon penjelasannya, insya Allah jawaban ustadz akan kami masukkan sebagai tambahan jawaban sebelumnya, mengingat ada komentar dari pembaca di Facebook pengusaha muslim tentang jawaban tersebut, bahwa bagaimana jika bonus tersebut diambil oleh individu bagian pembelian dan tidak kembali ke perusahaan. Jazakallahu Khairan.
Wassalamu 'alaikum
Tim Pengusaha Muslim
Jawaban:
Wa'alaikumussalam
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Mengenai bonus penjualan yang diberikan kepada pegawai perusahaan atau instansi pemerintahan, sebagaimana yang diceritakan pada soal di atas, maka seharusnya bonus tersebut dikembalikan kepada perusahaan atau instansi terkait. Tidak dibenarkan bagi pegawai tersebut untuk mengambilnya. Sebagaimana ia juga tidak dibenarkan untuk diam melihat penjaga toko menuliskan fatur yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga yang seharusnya ia tuliskan Rp 400.000, akan tetapi dituliskan Rp 450.000.
Pada praktek semacam ini terdapat beberapa kemungkaran:
1. Penipuan, karena pegawai tersebut akan melaporkan pembeliannya ke kantor tempat ia bekerja, baik perusahaan atau instansi pemerintah dengan laporan yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Laporan bohong tersebut bisa saja ia sampaikan secara tertulis, misalnya dengan menyerahkan faktur bohong tersebut dan bisa juga dalam bentuk laporan pembelian atau pekerjaan yang ia susun atau bisa juga berupa laporan lisan. Tentu ini adalah perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Dan ini adalah salah satu bentuk pengkhianatan dan penipuan.
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barang siapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami." (Riwayat Muslim)
2. Salah satu bentuk suap. Insentif ini bila dimaksudkan sebagai hadiah dari pemilik toko kepada pegawai terkait yang diberi tugas membeli barang, maka itu adalah salah satu bentuk suap, dan itu nyata-nyata diharamkan dalam Islam.
عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِىِّ رضي الله عنه قَالَ: اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مِنَ الأَسْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ، قَالَ: هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا لِى أُهْدِىَ لِى. قَالَ: فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ : مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِىَ لِى، أَفَلاَ قَعَدَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِى بَيْتِ أُمِّهِ، حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لاَ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا، إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ. ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ. مَرَّتَيْنِ متفق عليه
Abu Humaid As Sa'idy radhiallahu 'anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menugaskan seseorang dari bani Al Asad, yang dikenal dengan panggilan: Ibnu Al Lutbiyah untuk mengumpulkan zakat, dan ketika ia telah selesai dari tugasnya, ia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ini zakat yang berhasil aku kumpulkan, dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku." Mendengar ucapan itu, segera Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke mimbar, lalu membaca puji-pujian kepada Allah, dan bersabda: "Mengapa seorang petugas yang aku utus berkata: 'Ini zakat yang berhasil aku kumpulkan, dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku', tidakkah ia berdiam diri di rumah ibu atau ayahnya, agar ia mengetahui apakah ada orang yang memberinya hadiah atau tidak? Sungguh demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah ada seseorang dari kalian yang mengambil hadiah semacam itu, melainkan kelak pada hari kiamat ia akan memanggulnya dalam bentuk onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembek." Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tinggi-tinggi kedua tanganya, hingga kami dapat menyaksikan bulu ketiaknya, lalu berkata: "Apakah aku telah menyampaikan hal ini kepada kalian?" dua kali. (Muttafaqun 'alaih)
Berdasarkan hadits ini, para ulama' mengharamkan atas para pejabat atau pegawai perusahaan untuk menerima hadiah yang ada kaitannya dengan tugas yang ia kerjakan. (Jawaban ini selaras dengan fatwa Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, no: 7520).
3. Pengkhianatan terhadap amanah. Bisa saja karena ambisi mendapatkan insentif, seorang pegawai tidak memperhatikan kemaslahatan perusahaan atau instansi pemerintah tempat ia bekerja. Mungkin saja dari sekian banyak toko atau penyedia jasa banyak yang menawarkan harga lebih murah. Akan tetapi karena mereka tidak memberi insentif atau mungkin juga insentif yang mereka berikan lebih kecil, akhirnya ia memilih toko yang menjual barang dengan harga mahal, demi mendapatkan insentif yang lebih besar. Dan betapa sering mutu barang tidak diperhatikan, hanya karena menuruti ambisi mendapatkan insentif yang besar. Tentu sikap ini adalah salah satu bentuk pengkhiatan terhadap amanah yang telah ia pikul sebagai seorang pegawai.
Para ulama' fiqih telah menjelaskan bahwa: barang siapa bertindak mewakili orang lain, maka ia berkewajiban untuk melakukan yang terbaik. Beda halnya bila ia bertindak untuk dirinya sendiri, ia bebas memilik sesuka hatinya.
Sebagaimana mereka juga menyatakan bahwa: harta beserta turunannya adalah hak pemiliknya. Dan tidak diragukan bahwa uang yang digunakan untuk membeli dan juga segala hak yang terkait dengan uang dan barang yang dibeli dengannya adalah hak pemilik perusahaan atau instansi pemerintah terkait.
Dengan demikian sikap ini menyelisihi firman Allah Ta'ala
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya." (Qs. An Nisa': 58)
Dan berikut adalah salah satu contoh nyata bagaimana seorang pegawai seharusnya bersikap:
عن عُرْوَةَ بن أبي الجعد البارقي رضي الله عنه أَنَّ النبي صلى الله عليه و سلم أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي له بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى له بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا له بِالْبَرَكَةِ في بَيْعِهِ. وكان لو اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فيه. رواه البخاري
"Dari sahabat Urwah bin Abil Jaed Al Bariqy radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberinya uang satu dinar agar ia membelikan seekor kambing untuk beliau, maka sahabat Urwah dengan uang itu membeli dua ekor kambing, lalu menjual salah satunya seharga satu dinar. Dan iapun datang menghadap Nabi dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing. Kemudian Nabi mendoakannya agar mendapatkan keberkahan dalam perniagaannya. Sehingga andaikata ia membeli debu, niscaya ia akan mendapatkan keuntungan padanya." (Riwayat Al Bukhory)
Demikianlah etika seorang pegawai pengemban amanah yang benar-benar mencerminkan kepribadian seorang muslim sejati. Sahabat Urwah radhiallahu 'anhu bukan hanya berusaha membeli seekor kambing yang memenuhi persyaratan yang diinginkan, akan tetapi beliau melebihi itu semua. Beliau berusaha untuk mendapatkan harga yang termurah dengan mutu yang terjamin, dan mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh, bukannya beliau ambil sendiri, akan tetapi dikembalikan kepada pemberi amanah.
Saudaraku! Demikiankah sikap anda bila menerima amanah atau mendapatkan kepercayaan dari orang lain, baik instansi pemerintahan atau perusahaan atau perorangan?
Bukankah anda menginginkan agar rizki yang anda peroleh dari pekerjaan anda selama ini mendapatkan keberkahan dari Allah? Demikianlah saudaraku, caranya anda menunaikan amanah agar penghasilan anda diberkahi.
Semoga saudara-saudaraku sekalian dimudahkan untuk menunaikan amanah, sehingga penghasilan saudaraku sekalian diberkahi Allah. Wallahu a'alam bisshawab.
Wassalamu'alaikum
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
http://pengusahamuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar