Minggu, 29 April 2012

Keluar Kantor Saat Jam Kerja

Hukum Keluar Kantor Saat Jam Kerja

Karyawan atau pegawai memiliki kewajiban untuk masuk kantor dan berada di kantor selama jam kantor atau jam kerja yang telah disepakati baik di kantor ada pekerjaan yang perlu dilakukan atau pun tidak. Karena bekerja kepada orang lain adalah transaksi ijarah (jasa) mengharuskan hal ini, yaitu tetap di tempat kerja meski tidak ada pekerjaan.
Karyawan atau pegawai itu tergolong ajir khos. Ajir khos adalah orang yang diambil manfaat atau jasanya dalam ukuran waktu tertentu sehingga seorang karyawan memiliki kewajiban untuk mengkhususkan jam kerja yang disepakati hanya untuk pekerjaan saja. Seandainya permasalahan masuk kerja itu diserahkan kepada karyawan tentu banyak instansi baik negeri atau swasta bubar dan berbagai pekerjaan akan terbengkalai karenanya. Inilah ketentuan asal dalam dunia kepegawaian dan karyawan yaitu karyawan itu tergolong ajir khos yang memiliki kewajiban bekerja selama waktu tertentu.
Akan tetapi tentu saja ada pengecualian dalam hal ini yaitu jika ada kebutuhan yang mengharuskan seorang karyawan keluar dari tempat kerja karena keperluan pekerjaan atau kepentingan yang tidak bisa ditunda setelah jam kerja. Dalam kondisi ini, seorang karyawan boleh meninggalkan tempat kerja asal seizin pimpinan.
Sedangkan untuk pimpinan kantor boleh keluar kantor manakala ada kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda setelah jam kerja. Hendaknya dia perlakukan dirinya dalam hal ini sebagaimana layaknya umumnya karyawan. Tidak boleh baginya untuk memberikan toleransi kepada dirinya dalam masalah keluar dari tempat kerja lebih longgar daripada toleransi yang berlaku untuk karyawan. Seorang pimpinan harus bisa menjadi teladan yang baik untuk bawahannya dengan bersikap lebih ketat untuk diri sendiri melebihi sikap ketat kepada bawahannya.
Realita menunjukkan bahwa jika para bawahan melihat atasannya sering keluar maka mereka pun bermudah-mudah dalam masalah keluar dari tempat kerja dan bekerja pun dengan seenaknya. Sehingga terjadilah dampak buruk yang besar karenanya.
Kepala kantor tidak boleh beralasan bahwa dia bisa memantau bawahannya melalui telepon genggam untuk bermudah-mudah meninggalkan kantor tanpa ada keperluan yang mendesak.
Demikian pula ngantor setelah jam kantor bukanlah alasan karena kewajiban kerja wajib dikerjakan pada waktunya, tidak boleh di luar waktunya. Pekerjaan itu termasuk amanah yang dibebankan kepada seseorang yang wajib dijalankan dengan penuh amanah baik ada pimpinan yang mengawasi atau tidak.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Allah berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Allah itu memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah." (QS. An Nisa: 58).
Ketika menjelaskan ayat di atas Ibnu Katsir mengatakan, "Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk menunaikan amanah dengan baik. Dalam sebuah hadis dari Samurah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أد الأمانة إلى من ائتمنك، ولا تخن من خانك
‘Tunaikan amanah orang yang memberi amanah kepadamu dan janganlah engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu.’ (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan).
Amanah dalam ayat di atas mencakup semua amanah yang menjadi kewajiban seseorang baik berupa hak Allah semisal menjalankan sholat, membayar zakat, membayar kaffarah, melaksanakan nadzar, berpuasa dll. yang menjadi amanah seseorang yang boleh jadi orang lain tidak mengetahuinya. Demikian pula mencakup amanah yang diberikan oleh sesama manusia semisal titipan ataupun amanah selainnya yang modal pokoknya adalah kepercayaan sehingga sering sekali tanpa saksi dan bukti tertulis. Semua amanah tersebut Allah perintahkan agar dijalankan dengan baik, siapa saja yang tidak menjalankan dengan baik di dunia, maka dia akan mempertanggungjawabkannya di akherat nanti." (Tafsir Ibnu Katsir, 1:673).
Tidaklah berbagai pekerjaan terbengkalai kecuali karena pimpinan kantor bermudah-mudah untuk keluar kantor tanpa ada keperluan yang jelas. Sebaliknya suatu instansi yang pimpinan kantornya on time dalam masalah masuk kantor dan jarang keluar kantor kecuali untuk keperluan kantor para karyawannya akan disiplin dan bekerja dengan baik. Suatu hal yang sepatutnya disadari oleh para pimpinan kantor bahwa di antara tugas yang dibebankan kepada dirinya adalah mengawasi, memantau, mengevaluasi, dan mengarahkan bawahan serta membuat bawahan menyadari adanya pimpinan yang mengawasi dan memantau mereka.
Sumber: Islamqa.info
oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.

Menjamak Sholat Karena Kerja

Syaikh Sholih al Fauzan mengatakan, "Terkait pertanyaan yang disampaikan bahwa penanya disibukkan dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya sehingga terkadang tidak memungkinkan untuk mengerjakan sholat pada waktunya lantas apa yang semestinya dia lakukan?

Kami katakan, Anda berkewajiban untuk memperhatikan sikon. Jika waktu sholat sudah tiba sebelum pekerjaan mulai dilakukan maka Anda wajib mengerjakan sholat pada awal waktu sholat sebelum melakukan aktivitas kerja.

Sedangkan jika waktu sholat baru tiba di tengah-tengah berjibaku dengan pekerjaan, jika memungkinkan untuk mengerjakan sholat pada saat kerja maka Anda wajib mengerjakan sholat saat jam kerja. Allah berfirman yang artinya, "Bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian." (QS. At Taghabun:16)

Namun jika tidak memungkinkan bagi Anda untuk mengerjakan sholat dengan berhenti sejenak di tengah pekerjaan yang menjadi kewajiban dan waktu sholat berakhir sebelum pekerjaan selesai dan sholat tersebut adalah sholat yang bisa dijamak dengan sholat setelahnya, maka Anda bisa berniat untuk melakukan jamak ta'khir, semisal zhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya. Anda boleh mengerjakan sholat dengan cara jamak ta'khir menimbang sikon yang Anda hadapi yaitu Anda tidak mampu mengerjakan sholat yang pertama pada waktunya.

Mudah-mudahan hal ini termasuk sebab yang membolehkan untuk menjamak sholat bagi Anda karena pekerjaan yang Anda lakukan tidak memungkinkan untuk ditinggalkan meski hanya sejenak (semisal dokter yang akan/sedang mengoperasi, pen.) dan tidak mungkin mengerjakan sholat di tengah kesibukan kerja.

Kesimpulannya, Anda berkewajiban untuk memberikan perhatian terhadap sholat dan memperhatikan firman Allah yang artinya "Bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal kemampuan kalian." (QS. At Taghabun:16)" (Fatawa Muhimmah li Muwazhzhaf al Ummah, Hal 4).
Artikel www.PengusahaMuslim.com
 oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.

Download: Doa Ketika Terlilit Hutang

Kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya. (Alm. Ust. Armen Halim Naro, Lc.)
Dalam kaitan hutang piutang nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita sebuah doa. Silahkan klik download doa ketika terlilit hutang ini. Semoga bermanfaat.
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Ternyata Upah Makelar Hukumnya Makruh

Pada saat ini, bisnis atau wirausaha semakin menjadi pilihan masyarakat sebagai mata pencarian mereka. Aktivitasnya yang  tidak monoton dan tidak mengikat seseorang menjadi alasan utama orang-orang menekuni profesi wirausahwan. Para pekerja kantoran pun beralih terjun total ke dunia wirausaha karena kata mereka lebih menjanjikan. Banyak pihak yang mendapat keuntungan dari menjamurnya dunia wirausaha ini; perekonomian berkembang, pengangguran berkurang, dll. Ada pula pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan tren positif ini menjadi makelar, sebagai fasilitator antara wirausahawan dengan konsumennya atau pedagang besar dengan pedagang kecil. Menurut tinjauan syariat, sebenarnya sahkah atau bolehkah seseorang menjadi makelar? Simak pembahasannya berikut ini.

Abu Hamid Al Ghazali Asy Syafi’i mengatakan, "Muhammad bin Sirin, salah seorang ulama generasi tabi’in, memakruhkan profesi sebagai makelar. Demikian pula Qatadah, ulama generasi tabi’in, memakruhkan upah yang didapatkan dari profesi makelar.

Pendapat semacam ini muncul, kemungkinan besar dikarenakan dua alasan:

Pertama, para makelar itu sulit sekali terhindar dari dosa dusta dan berlebih-lebihan dalam memuji barang dagangan yang dia makelari agar laris terjual.
Kedua, kerja sebagai makelar itu tidak terukur kadang pontang-panting kadang tidak, sedangkan besaran komisi sebagai makelar itu biasanya tidak melihat kerjanya namun melihat harga barang yang dimakelari dan ini adalah kezaliman. Seharusnya besaran upah itu menimbang tingkatan rasa capek yang didapatkan si makelar untuk melariskan barang dagangan."
(Ihya Ulumuddin, Juz 2 Hal. 96, terbitan Darul Fikr Beirut 1428 H).
Artikel www.PengusahaMuslim.com
oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.

Halal Haram Komisi Karyawan

Pertanyaan:
Apakah hadiah yang diberikan oleh pimpinan kepada karyawan karena kesungguhannya dalam bekerja tergolong risywah atau suap karena hadiah tersebut lebih besar daripada gaji?

Jawaban Ibnu Utsaimin:
Tidak, hadiah tersebut tidaklah tergolong suap selama fungsi hadiah tersebut adalah memotivasi kerja. Akan tetapi jika karyawan tersebut tidak mau melaksanakan kewajibannya dengan baik kecuali diberi hadiah, maka hadiah untuk karyawan dalam kondisi semisal ini adalah risywah atau suap. Hadiah tersebut hukumnya haram bagi si karyawan karena hadiah tersebut adalah hadiah agar si karyawan melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya. Sedangkan kaidah dalam masalah ini adalah tidak boleh meminta atau menerima hadiah dalam rangka agar melaksanakan kewajiban.

Ada dua macam hadiah atau komisi karyawan yang harus dibedakan:
Pertama, hadiah yang diberikan dalam rangka memotivasi karyawan agar tetap menjaga atau malah meningkatkan etos kerja.

Kedua, hadiah yang diberikan agar karyawan mau menjalankan kewajibannya dengan baik, padahal menjalankan kewajiban adalah kewajiban yang harus dia laksanakan baik ada hadiah atau pun tidak. Sehingga hadiah jenis kedua ini haram bagi penerima hadiah.
Sedangkan hadiah karyawan jenis pertama yaitu hadiah untuk memotivasi karyawan setelah dia bekerja dengan baik adalah hadiah yang mubah dan tidak tergolong risywah. Kecuali jika hadiah semacam ini menimbulkan dampak buruk di kemudian hari yaitu menyebabkan karyawan kecanduan dengan hadiah. Jika dia tidak mendapatkan hadiah, maka dia akan bekerja asal-asalan. Jika demikian dampaknya maka hadiah motivasi yang berdampak jelek semacam ini menjadi terlarang karena semua sarana mubah yang mengantarkan kepada hal yang terlarang adalah terlarang. (Fatawa Muhimmah li Muwazhzhaf al Ummah, Hal. 28).
Artikel www.PengusahaMuslim.com
 oleh: Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.

Bekerja Kepada Non Muslim

Bekerja kepada orang non muslim itu ada dua kategori:

Pertama, bekerja dengan bentuk mengabdi atau melayani, ini hukumnya haram karena hal ini menyebabkan berkuasanya non muslim atas seorang muslim dan menyebabkan hinanya seorang muslim di hadapan orang kafir.
Kedua, sedangkan bentuk pekerjaan yang tidak bersifat melayani seperti membangunkan rumah untuk non muslim atau semisalnya, hukumnya diperbolehkan karena pekerjaan semacam ini tidak mengandung unsur hinanya seorang muslim di hadapan orang kafir.
عَنْ مَسْرُوقٍ حَدَّثَنَا خَبَّابٌ قَالَ كُنْتُ رَجُلاً قَيْنًا فَعَمِلْتُ لِلْعَاصِ بْنِ وَائِلٍ فَاجْتَمَعَ لِى عِنْدَهُ فَأَتَيْتُهُ أَتَقَاضَاهُ فَقَالَ لاَ وَاللَّهِ لاَ أَقْضِيكَ حَتَّى تَكْفُرَ بِمُحَمَّدٍ
Dari Masruq, Khabab –seorang shahabat Nabi- bercerita, "Aku adalah seorang pandai besi. Aku pernah bekerja untuk kepentingan Al 'Ash bin Wail. Suatu ketika aku mendatanginya dan menagihnya. Jawabnya, "Demi Allah, aku tidak mau membayarnya sampai engkau kafir dengan Muhammad." (HR Bukhari no. 2275).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَصَابَ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَصَاصَةٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا فَخَرَجَ يَلْتَمِسُ عَمَلاً يُصِيبُ فِيهِ شَيْئًا لِيُقيت بِهِ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَتَى بُسْتَانًا لِرَجُلٍ مِنَ الْيَهُودِ فَاسْتَقَى لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ دَلْوًا كُلُّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ فَخَيَّرَهُ الْيَهُودِىُّ مِنْ تَمْرِهِ سَبْعَ عَشَرَةَ عَجْوَةً فَجَاءَ بِهَا إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Dari Ibnu Abbas, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami kelaparan. Berita mengenai hal ini sampai ke telinga Ali. Ali pun lantas mencari pekerjaan sehingga bisa mendapatkan upah yang bisa dipergunakan untuk menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ali mendatangi kebun milik seorang Yahudi. Orang Yahudi pemilik kebun itu meminta Ali untuk menimbakan air untuknya sebanyak 17 ember, setiap ember upahnya adalah satu butir kurma. Orang Yahudi tersebut meminta Ali untuk memilih 17 butir kurma Ajwah. Kurma-kurma tersebut Ali bawakan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ibnu Majah no. 2446, dinilai dhaif jiddan oleh al Albani).
Jadi pekerjaan semisal ini hukumnya boleh seperti halnya jual beli dengan non muslim yang tidak mengandung unsur menghinakan seorang muslim.
Al Qarafi al Maliki dalam kitabnya Al Furuq mengatakan,
وكذلك لا يكون المسلم عندهم خادما ولا أجيرا يؤمر عليه وينهى
"Seorang muslim tidak menjadi pelayan (baca: babu) bagi orang kafir, tidak boleh pula menjadi pekerja (baca: PRT) yang diperintah dan dilarang seenaknya oleh non muslim."
Artikel www.PengusahaMuslim.com
  oleh Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.
Design by Visit Original Post Islamic2 Template