Kamis, 27 Oktober 2011

Berilah Hak Jalan

Dari Said Al Khudri dari
Nabi beliau bersabda : “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan.”
Maka para sahabat berkata : “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.”
Rosululloh berkata : “Jika kalian enggan maka berilah hak jalan.”
Sahabat bertanya : “Apakah hak jalan itu ?”
Beliau menjawab : Menundukkan Pandangan, Menghilangkan Gangguan, Menjawab Salam, Memerintahkan Kebaikan Dan Mencegah Kemungkaran.
[HR Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816).]

Sabtu, 22 Oktober 2011

KUNYAH, SEBUAH SUNNAH DALAM NAMA

MUQODDIMAH
Ternyata ada sebagian kalangan yang melecehkan Sunnah “kunyah[1] ”. Penulis tahu hal ini ketika membaca komentar-komentar di situs kami.  Menurut mereka: sok Arab, sok alim dan lainnya. Demikianlah sikap dan komentar sebagian kalangan tentang Sunnah ini. Bagaimanakah sebenarnya hakikat permasalahannya?! In sya Alloh pada kesempatan ini, akan kita bahas tentang jawabannya. Semoga Alloh subhanahu wa ta’aala selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita.
DEFINISI KUNYAH
Kunyah adalah nama yang diawali dengan “Abu” atau “Ibnu” untuk laki-laki, seperti Abu Abdillah dan Ibnu Hajar. Sedangkan “Ummu” atau “Bintu” adalah untuk perempuan, seperti Ummu Aisyah dan bintu Malik.
Kunyah apabila bergabung dengan nama asli maka kunyah boleh diawalkan atau diakhirkan. Contoh Abu Hafsh Umar atau Bakr Abu Zaid. Namun yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena maksud dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada dzat bukan sebagai sifat.[2]
Kunyah secara umum merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan.[3]Seorang peyair berkata:
أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ
وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ
Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya
Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.[4]
Namun terkadang kunyah juga bisa bermakna celaan seperti Abu Jahl, Abu Lahab dan lain sebagainya.[5]

DALIL-DALIL DISYARI’ATKANNYA KUNYAH
Hadits Pertama:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَبِيُّ - صلى الله عليه وسلم-أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, قَالَ أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ, وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh Nughoir (Nughoir adalah sejenis burung)?’”[6]
Imam Bukhori rahimahulloh membuat bab hadits ini dengan ucapannya “Bab kunyah untuk anak dan orang yang belum mempunyai anak”. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: “Imam Bukhori mengisyaratkan dalam bab ini untuk membantah anggapan orang yang melarang kunyah bagi yang belum mempunyai anak dengan alasan bahwa hal itu menyelisihi fakta.”[7]
Imam Ibnul Qosh asy-Syafi’i rahimahulloh berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah tentang bolehnya memberi kunyah kepada orang yang belum mempunyai anak.”[8]
Hadits Kedua:
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم-: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ
Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam: “Wahai Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyah radhiyallahu ‘anha selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah[9] hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.”[10]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahulloh berkata: “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun belum mempunyai anak. Karena hal ini termasuk adab Islam yang menurut pengetahuan kami tidak ada dalam agama-agama lainnya. Maka hendaknya kaum muslimin menerapkan Sunnah ini baik kaum pria maupun wanita.”[11]
Hadits Ketiga:
أَنَّ عُمَرَ قَالَ لِصُهَيْبٍ مَا لَكَ تَكْتَنِى بِأَبِى يَحْيَى وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ. قَالَ كَنَّانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِأَبِى يَحْيَى.
“Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau berkunyah dengan Abu Yahya padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia menjawab: ‘Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam yang memberiku kunyah Abu Yahya.’”[12]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah disyari’atkan kunyah bagi yang belum mempunyai anak, bahkan dalam shohih Bukhori dan lainnya bahwa beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam memberikan kunyah kepada putri kecil dengan Ummu Kholid.”
Sungguh disayangkan, banyak kaum muslimin yang melupakan Sunnah ini. Amat jarang sekali kita menjumpai orang yang berkunyah padahal dia mempunyai anak banyak. Apalagi lagi yang belum mempunyai anak?![13]
Syaikh Ahmad al-Banna berkata: “Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya kunyah bagi anak kecil dan dewasa baik sudah mempunyai anak atau belum (dan ini bukanlah suatu kebohongan), baik lelaki atau wanita, dan bolehnya berkunyah dengan selain anaknya. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang namanya Bakr, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Hafsh, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Dzar, dan seterusnya banyak sekali tak terhitung.
Dibolehkan pula bagi wanita untuk berkunyah dengan nama anak orang lain sekalipun ia tidak memiliki anak, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberi kunyah ’Aisyah dengan Ummu Abdillah. Jadi, kunyah itu tidak harus memiliki anak terlebih dahulu dan tidak harus juga ia berkunyah dengan nama anaknya.
Para ulama mengatakan: “Mereka memberikan kunyah kepada anak kecil sebagai rasa optimisme bahwa dia akan hidup hingga mempunyai anak dan sebagai penghindaran diri dari gelar-gelar jelek. Oleh karenanya seorang di antara mereka mengatakan: “Cepatlah berikan kunyah untuk anak-anak kalian sebelum didahului oleh gelar.” Wallohu a’lam.”[14]
KUNYAH PARA SALAF
Berdasarkan hadits-hadits di atas yang menunjukkan disyari’atkannya kunyah bagi anak kecil dan orang dewasa sekalipun belum mempunyai anak, maka merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikaruniai anak. Imam az-Zuhri rahimahulloh berkata: “Adalah beberapa sahabat, mereka berkunyah sebelum dikaruniai anak.”[15]
  1. Ath-Thobroni meriwayatkan dengan sanad shohih dari Alqomah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberinya kunyah Abu Abdirrohman sebelum dikarunia anak.”
  2. Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod meriwayatkan dari Alqomah radhiyallahu ‘anhu: “Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
  3. Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibrahim, berkata: “Adalah Alqomah radhiyallahu ‘anhu diberi kunyah Abu Syibl padahal dia mandul tidak mempunyai anak.”
  4. Al-Bukhori meriwayatkan dari Hilal al-Wazan berkata: “Urwah memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
  5. Al-Bukhori dalam Tarikh Kabir meriwayatkan dari Hisyam: “Muhammad bin Sirin memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”[16]
Oleh karenanya, semua ini dapat membantah pendapat sebagian kalangan yang melarang kunyah bagi orang yang belum mempunyai anak. Jika kita ingin mengutip semuanya, maka banyak sekali ulama salaf dan ahli hadits yang memiliki kunyah[17], sehingga banyak pula ditulis kitab-kitab khusus yang membahas tentang kunyah mereka.
Dalam muqoddimah Syaikh Muhammad bin Sholih al-Murod terhadap kitab al-Muqtana fil Kuna hlm. 22-31 beliau menyebutkan lebih dari tiga puluh judul kitab tentang kunyah para perawi hadits, di antaranya adalah al-Kuna oleh Imam Muslim (2 jilid), al-Kuna wal Asma’ oleh ad-Daulabi (2 jilid), al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim Abu Ahmad, Nasai’, Ibnu Mandah, Ali bin Madini dan lain sebagainya.[18]

KUNYAH DENGAN ABUL QOSHIM
Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan mengenai penggunaan kunyah bagi kaum laki-laki dengan menggunakan kunyah Abul Qosim, beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ- صلى الله عليه وسلم-: سَمُّوْا بِاسْمِيْ, وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِيْ
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu berkata, Abul Qosim shalallahu ‘alayhi wa sallam berkata: “Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan kunyahku.” [19]
Para ulama berselisih dalam penggunaan kunyah Abul Qosim ini, al-Hafizh Ibnu Qoyyim rahimahulloh berkata: “Pendapat yang benar adalah boleh bernama dengan nama Muhammad dan dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qosim. Larangan ini lebih keras lagi pada masa beliau dan dilarang pula menggabung nama beserta kunyah beliau yakni Muhammad dan Abul Qosim.”[20]
Demikianlah penjelasan singkat tentang sunnahnya kunyah dalam nama. Semoga hal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
___________________________________________________________________
[1] Baca kun-yah. Bukan kunyah.
[2] Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah Ibni Malik 1/115 dan al-Qowaid al-Asasiyyah Li Lughotil Arobiyyah hlm. 67 oleh Sayyid Ahmad al-Hasyimi.
[3] Para ulama berselisih pendapat tentang memberi kunyah kepada orang kafir dan ahli bid’ah. Pendapat yang benar pada asalnya adalah tidak boleh karena termasuk menghormati mereka, tetapi terkadang diperbolehkan apabila ada tujuan dan sebab syar’i. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah Min Ahlil Bida’ wal Ahwa’ 2/584 oleh Dr. Ibrohim ar-Ruhaili hafidzahullah)
[4]  Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahulloh.
[5] Bekal Menanti Si Buah Hati hlm. 36 oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafidzahullah, cet. Media Tarbiyah, Bogor.
[6] HR. Bukhari 6203, Muslim 2150
Faedah: Ibnu Qash asy-Syafi’i rahimahulloh di awal kitabnya Juz fi Fawaid Hadits Ya Aba Umair, menyebutkan bahwa sebagian manusia mencela ahli hadits dan menuding bahwa mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak ada faedahnya seperti hadits Abu Umair. Kata beliau: “Apakah mereka tahu bahwa hadits ini ternyata menyimpan faedah dalam masalah fiqih, adab dan faedah lainnya sehingga mencapai enam puluh faedah?!.” (Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 10/716, Mu’jam al-Mushannafat fi Fathil Bari oleh Masyhur bin Hasan hafidzahullah hlm. 167-168)
[7]  Fathul Bari 10/714
[8]  Juz Fiihi Fawaid Hadits Abi Umair hlm. 27, Tahqiq Shobir Ahmad al-Bathowi.
[9]  Abdulloh di sini adalah keponakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yaitu Abdulloh bin Zubair radhiyallahu ‘anhu. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa ’Aisyah radhyallahu ‘anha pernah keguguran anaknya, maka riwayat ini adalah bathil secara sanad dan matan. (Lihat Tuhfatul Maudud hlm. 231 oleh Ibnu Qoyyim rahimahulloh, al-Adzkar 2/725 oleh an-Nawawi rahimahulloh, al-Ijabah hlm. 41 oleh az-Zarkasyi, Silsilah Adh-Dho’ifah no. 4137 oleh al-Albani rahimahulloh)
[10] HR. Ahmad 6/107, 151, Abu Dawud 4970, Abdur Rozzaq dalam al-Mushannaf 19858 dengan sanad shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 132
[11] Silsilah Ahadits ash-Shohihah 1/257
[12]  HR. Ibnu Majah: 3738 dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Ahadits al-Aliyat no. 25 dan dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah no. 44
[13] Silsilah Ahadits ash-Shohihah 1/110-111. Lihat pula Nihayatul Hajah Fi Syarh Sunan Ibni Majah 2/1361 oleh as-Sindi dan Silsilah Atsar ash-Shohihah 1/14 oleh Abu Abdillah ad-Dani.
[14]  Bulughul Amani fi Asrori Fathur Robbani 2/2013. Lihat pula Tuhfatul Maudud hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim dan Aunul Ma’bud 13/212 oleh Adzim Abadi.
[15] al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/26278).
[16]  Lihat atsar-atsar ini dalam Fathul Bari 10/714 oleh Ibnu Hajar dan Fadhlullohi ash-Shomad 2/677 oleh Fadhlulloh al-Jilani. Dan atsar no. 2 dan 3 dishohihkan al-Albani dalam Shohih Adab Mufrod hlm. 228.
[17] Al-Hafizh Khothib al-Baghdadi berkata dalam al-Jami’ li Akhlak Rowi wa Adabi Sami’ 2/77: “Dalam ahli hadits banyak sekali para perawi yang cukup disebut dengan kunyah mereka tanpa nama dan nasab mereka karena kemasyhuran mereka dengan kunyah dan tidak dikhawatirkan tercampur dengan lainnya.”
[18] Lihat al-Baitsul Hatsits 2/594 oleh Ahmad Syakir, tahqiq Syaikhuna Ali Hasan al-Halabi hafidzahullah.
[19]  HR. Bukhori 3539, Muslim 2134
[20] Zaadul Ma’ad 2/347. Lihat perbedaan ‘ulama dalam masalah ini secara luas beserta dalil-dalilnya dalam Ahkamul Maulud Fi Sunnah Muthohharoh hlm. 95-103 oleh Salim asy-Syibli dan Muhammad Kholifah ar-Robbah.

Jumat, 21 Oktober 2011

Keutamaan Puasa Sepuluh Hari Pertama di Bulan Dzulhijjah

Oleh: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Pertanyaan:
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah ditanya, “Apa pendapat anda tentang pandangan orang yang mengatakan berpuasa di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah bid’ah?”
Jawaban:
Beliau menjawab, “Orang ini jahil, patut diajari. Karena Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah memotivasi untuk beramal shalih padanya, dan puasa termasuk amal shalih. Berdasarkan hadits sabda Nabi,”Tidak ada hari-hari dimana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini”. Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah tidak pula Jihad Fi Sabilillah?” Beliau menjawab, “Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang berjihad dengan jiwanya dan hartanya dan tidak kembali membawa apa-apa lagi”.Hadits riwayat Al Bukhari dalam shahihnya.
Walaupun Nabi tidak pernah berpuasa pada hari-hari ini, telah diriwayatkan dari beliau bahwa beliau berpuasa padanya, dan diriwayatkan pula dari beliau bahwa beliau tidak berpuasa padanya. Akan tetapi yang jadi pegangan adalah ucapan karena ucapan lebih kuat daripada perbuatan. Dan apabila terkumpul ucapan dan perbuatan maka ini lebi kuat untuk dikatakan sunnah. Maka ucapan adalah dalil tersendiri sebagaimana perbuatan dan taqrir (persetujuan) demikian.
Apabila Nabi mengatakan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan atau mempersetujuinya maka seluruhnya adalah sunnah. Akan tetapi ucapan lebih kuat kemudian perbuatan dan setelahnya persetujuan. Dan dalam hal ini Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Tidak ada hari-hari dimana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini”. Yakni sepuluh hari (pertama), maka apabila seseorang ingin berpuasa padanya atau bersedekah berarti ia di atas kebaikan yang besar. Demikian pula disyariatkan pada hari-hari tersebut bertakbir (membaca Allahu Akbar), bertahmid (membaca Alhamdulillah), dan bertahlil (membaca Laa ilaha ilallah) berdasarkan sabda Nabi, “Tidak ada hari-hari yang lebih mulia di sisi Allah dan dicintai oleh-Nya untuk beramal shalih padanya daripada hari-hari yang sepuluh ini, maka perbanyaklah oleh kalian padanya tahlil, takbir, dan tahmid”. Semoga Allah menganugrahkan taufiq-Nya kepada kita semua.”
Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abdul Barr dari:
Majmu Fatawa Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Sumber: Majalah As Salaam No IV/Th II 2006M/1426H

Kasih Sayang Rasullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam terhadap Hewan

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu 1. Dari Suhail bin Hanzhaliyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati unta yang kurus, lalu beliau bersabda,
اِتَّقُوا اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَأَرْكَبُوْهَا صَالِحَةً ، وَكُلُوْهَا صَالِحَةً
“Bertaqwalah kepada Allah dari unta ini, dan kendarailah dengan baik serta beri makan yang baik”. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Arnauth).
2. Dari ‘Abdullah dari bapaknya, beliau berkata, “Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar, lalu beliau berpaling sebentar untuk suatu hajat, kami melihat Humarah (burung berwarna merah) bersama dua anaknya. Kami pun mengambil dua anak tersebut dan datanglah induknya dengan kebingungan (mengepak-epak sayapnya). Tatkala itu datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersabda,
مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بولدها ؟ رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا
“Siapa yang menyakiti burung ini? Kembalikan anaknya ini pada burung ini”.
Dan ketika beliau melihat sekumpulan semut yang kami bakar sarangnya, beliau bersabda,
مَنْ أَحْرَقَ هَذِهِ؟
“Siapa yang telah membakar ini?”
Kami menjawab, “Kami (yang telah membakarnya)”. Beliau bersabda,
لاَ يَنْبَغِي أَنْ يُعذب بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ
“Tidak sepantasnya mengadzab dengan api melainkan Rabbun Nar (yaitu Allah ta’ala)”. (HR. Ahmad dan selainnya dan dishahihkan oleh Al-Arnauth).
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memiringkan bejana untuk seekor kucing sehingga kucing tersebut bisa minum air darinya. Kemudian beliau berwudhu dengan sisanya. (HR. Ath-Thabrani dengan sanad shahih.)
4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةِ ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ ، فََلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan (kebaikan) atas segala sesuatu, maka jika kalian membunuh, maka perbaguslah dalam membunuhnya, dan jika menyembelih, maka perbaguslah sembelihannya, dan hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sesembelihannya”. (HR. Muslim).
5. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seseorang yang menginjakkan kakinya di atas lambung seekor kambing sambil menajamkan pisaunya dan diperlihatkan di depan mata kambing itu. Beliau bersabda,
أَتُرِيْدُ أَنْ تميتها مَوْتَتَيْنِ ؟ هَلا حَدَّدْتَ شفرتَكَ قَبْلَ أَنْ تضجعَهَا
“Apakah kamu ingin membunuhnya dengan dua kematian? Tidakkah kamu tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkannya?” (HR. Al-Hakim dan beliau berkata hadits ini shahih atas syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim, dan disepakati pula oleh Adz-Dzahabi)
6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلَا سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
“Seorang wanita telah diazab karena mengurung seekor kucing sampai mati dan dia dimasukkan dalam neraka, karena dia tidak memberi makan dan minum ketika mengurungnya dan tidak pula dia melepaskannya sehingga bisa makan serangga”. (HR. Al Bukhari)
(Diterjemahkan untuk blog http://ulamasunnah.wordpress.com dari Qutuf min Syamail Muhammadiyyah, karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
Naskah Arab:
رحمة الرسول صلى الله عليه وسلم بالحيوان :
1- وعن سهيل بن الحنظلية قال : مرّ رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ببعير قد لحق ظهره ببطنه ، فقال : (اتقوا الله في هذه البهائم المعجمة فأركبوها صالحة ، وكلوها صالحة) . “المعجمة : التي لا تنطق” .
2- وعن عبدالله ، عن أبيه قال : كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر ، فانطلق لحاجته ، فرأينا (حُمرة) معها فرخان ، فأخذنا فرخيها ، فجاءت الحمرة ، فجعلت تُعرش ، فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : من فجع هذه بولدها ؟ ردوا ولدها إليها ، ورأى قرية نمل قد أحرقناها ، فقـال : من أحرق هذه ؟ قلنا : نحن ، قال : لا ينبغي أن يُذب بالنار إلا رب النار.
(الحمرة : طائر يشبه العصفور) ، ( تُعرش : ترفرف) .
3- كان صلى الله عليه وسلم ، يُصغي للهرة الإناء ، فتشرب ثم يتوضأ ، بفضلها ، (يصغي ، يميل) .
4- وقال صلى الله عليه وسلم : ( إن الله كتب الإحسان على كل شئ ، فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة ، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة ، وليحد أحدكم شفرته ، وليرح ذبيحته) .
5- وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال : مرّ رسول الله صلى الله عليه وسلم على رجل واضع رجله على صفحة شاة وهو يحد شفرته ، وهي تلحظ إليه ببصرها ، فقال : أتريد أن تميتها موتتين ؟ هلا حددت شفرتك قبل أن تضجعها ؟ (تلحظ : تنظر) .
6- وقال صلى الله عليه وسلم : ( عُذبت امرأة في هرة سجنتها حتى ماتت ، فدخلت فيها النار ، لا هي أطعمتها وسقتها إذ حبستها ، ولا هي تركتها تأكل خشاش الأرض) . ” خشاش الأرض : حشراتها

Jumat, 14 Oktober 2011

Hukum Menjual Barang/Produk Cacat

Oleh: Al Lajnah Ad Daimah
Pertanyaan: Saya membeli sebuah mobil dan mendapati adanya kerusakan yang parah. Saya lalu menjualnya tanpa memberitahukan cacat tersebut kepada pembeli. Apakah hal ini termasuk al-ghisy (penipuan) atau tidak?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab:
Ya. Ini tergolong al-ghisy (penipuan). Dan telah diketahui bahwa al-ghisy adalah perbuatan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”
Anda wajib meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya. Hendaknya Anda segera menyampaikan dan memberitahukan kepada pembeli tentang cacat yang ada pada mobil itu, untuk melepaskan beban Anda. Apabila pembeli mengalah terhadap haknya (yakni menerima mobil itu apa adanya, ed.) maka alhamdulillah. Bila tidak, hendaknya Anda membuat kesepakatan dengan pembeli, baik dengan cara memberikan uang yang setara dengan cacat itu, atau mobil itu diambil kembali dan uangnya dikembalikan. Dan bila tidak terjadi kesepakatan, maka ini merupakan perselisihan yang harus diselesaikan hakim.
Bila Anda sulit mengetahui (keberadaan) si pembeli, maka bersedekahlah atas namanya sesuai nilai cacat itu.
Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud
(Fatawa Al-Lajnah, 13/204, pertanyaan ke-7 dari fatwa no. 1843)
Pertanyaan: Apa hukumnya menjual barang, yang seseorang membelinya dari pabrik dalam keadaan maghsyusyah (ada cacat tapi tidak diberitahukan)?
Al-Lajnah menjawab:
Bila dia ingin menjualnya dalam keadaan tahu bahwa barang itu cacat, dia wajib untuk menjelaskannya kepada pembeli bahwa barang itu ada cacatnya. Bila dia tidak menjelaskannya, maka dia berdosa, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”
Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud
(Fatawa Al-Lajnah, 13/205, pertanyaan ke-8 dari fatwa no. 4494)
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=664

Hukum Qurban Secara Kolektif

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Hewan yang digunakan untuk sembelihan qurban adalah unta, sapi[1], dan kambing. Bahkan para ulama berijma’ (bersepakat) tidak sah apabila seseorang melakukan sembelihan dengan selain binatang ternak tadi.[2]

Ketentuan Qurban Kambing
Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”[3]
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”[4]
Ketentuan Qurban Sapi  dan Unta
Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang)[5]. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
“Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”[6]
Begitu pula dari orang yang ikut urunan qurban sapi atau unta, masing-masing boleh meniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Perhatikan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah berikut.
Soal pertama dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790
Soal:
Bolehkah seorang muslim berqurban unta atau sapi untuk tujuh orang, lalu masing-masing meniatkan untuk orang tua, anak, kerabat, pengajar dan kaum muslimin lainnya.  Apakah urunan tujuh orang tadi masing-masing diniatkan untuk satu orang saja (tanpa disertai lainnya) atau pahalanya boleh untuk yang lainnya?
Jawab:
Yang diajarkan, unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya.
Yang menandatangai fatwa ini:
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[7]
Bagaimana Hukum Qurban Secara Kolektif?
Sebagaimana ketentuan di atas, satu kambing hanya boleh untuk satu orang (dan boleh diniatkan untuk anggota keluarga), satu sapi untuk tujuh orang (termasuk anggota keluarganya), dan satu unta untuk sepuluh orang (termasuk anggota keluarganya), lalu bagaimana jika 1 kambing dijadikan qurban untuk 10 orang atau untuk satu sekolahan (yang memiliki murid ratusan orang) atau satu desa? Ada yang melakukan seperti ini dengan alasan dana yang begitu terbatas.
Sebagai jawabannya, alangkah baiknya kita perhatikan fatwa ulama yang terhimpun dalam Al Lajnah Ad Da-imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) mengenai hal ini.
Soal kedua dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3055
Soal:
Ada seorang ayah yang meninggal dunia. Kemudian anaknya tersebut ingin berqurban untuk ayahnya. Namun ada yang menyarankan padanya, “Engkau tidak boleh menyembelih unta untuk qurban satu orang. Sebaiknya yang disembelih adalah satu ekor kambing. Karena unta lebih utama dari kambing. Jadi yang mengatakan “Sembelihlah unta”, itu keliru.” Karena apabila ingin berkurban dengan unta, maka harus dengan patungan bareng-bareng.
Jawab:
Boleh berkurban atas nama orang yang meninggal dunia, baik dengan satu kambing atau satu unta. Adapun orang yang mengatakan bahwa unta hanya boleh disembelih dengan patungan bareng-bareng, maka perkataan dia yang sebenarnya keliru. Akan tetapi, kambing tidak sah kecuali untuk satu orang dan shohibul qurban (orang yang berqurban) boleh meniatkan pahala qurban kambing tadi untuk anggota keluarganya. Adapun unta boleh untuk satu atau tujuh orang dengan bareng-bareng berqurban. Tujuh orang tadi nantinya boleh patungan dalam qurban satu unta. Sedangkan sapi, kasusnya sama dengan unta.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Yang menandatangai fatwa ini:
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[8]
Dari penjelasan ini, maka kita bisa ambil beberapa pelajaran:
  1. Seorang pelaku qurban dengan seekor kambing boleh mengatasnamakan qurbannya atas dirinya dan keluarganya.
  2. Qurban dengan sapi atau unta boleh dipikul oleh tujuh orang.
  3. Yang dimaksud kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang adalah dalam masalah orang yang menanggung pembiayaannya.
  4. Tidak sah berqurban dengan seekor kambing secara kolektif/urunan lebih dari satu orang lalu diniatkan atas nama jama’ah, sekolah, RT atau desa. Kambing yang disembelih dengan cara seperti ini merupakan daging kambing biasa dan bukan daging qurban.
Solusi Dalam Iuran Qurban
Solusi yang bisa kami tawarkan untuk masalah iuran hewan qurban secara patungan adalah dengan cara arisan qurban. Jadi setiap tahun beberapa orang bisa bergantian untuk berqurban. Di antara alasan dibolehkan hal ini karena sebagian ulama membolehkan berutang ketika melakukan qurban.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tentang orang yang tidak mampu aqiqah, “Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9] Qurban sama halnya dengan aqiqah.
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, “Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, “Aku telah mendengar firman Allah,
لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
“Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)”[10]
Catatan:
  1. Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.
  2. Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.
  3. Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.
Bagaimana dengan Hadits “Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berqurban”?
Sebagian orang ada yang beralasan benarnya qurban secara kolektif melebihi ketentuan syari’at yang dikemukakan di atas dengan alasan hadits Jabir bin ‘Abdillah berikut,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».
“Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri shalat Idul Adha di tanah lapang. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, beliau turun dari mimbar kemudian beliau diserahkan satu ekor domba. Lalu beliau memotong dengan tangannya, lantas bersabda, ‘Bismillah, wallahu akbar. Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang tidak ikut berqurban.’”[11] Mereka beralasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja niatkan untuk seluruh umatnya yang tidak berqurban, maka berarti kami boleh niatkan qurban untuk satu RT, satu sekolahan atau satu desa.
Sanggahan: Mengenai hadits “qurban siapa saja yang tidak ikut berqurban”, ini adalah khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Jadi, beliau diperbolehkan berkurban untuk seluruh umatnya (selain keluarganya). Sedangkan umatnya hanya diperbolehkan menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan di muka.
Al Qodhi Abu Ishaq mengatakan, “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini –wallahu a’lam- sebagaimana seseorang boleh  berqurban untuk dirinya dan keluarganya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh berqurban atas nama seluruh kaum muslimin karena beliau adalah ayah mereka dan istri-istri beliau adalah ibu mereka.”[12] Oleh karena, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ayah kaum muslimin, maka beliau diperbolehkan meniatkan qurban untuk dirinya dan keluarganya (yaitu seluruh kaum muslimin).
Kesimpulan:
  1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
  2. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.
  3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.
Semoga pelajaran yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublikasikan dari rumaysho.com
Pangukan, Sleman, siang hari, 16 Dzulqo’dah 1430 H
Footnote:
[1] Sebagian ulama menyamakan kerbau dengan sapi.
[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/369, Maktabah At Taufiqiyah.
[3] HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142.
[4] Nailul Author, Asy Syaukani, 8/125, Mawqi’ Al Islam.
[5] Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa satu unta hanya dijadikan urunan tujuh orang untuk udh-hiyah karena diqiyaskan dengan unta pada al hadyu. Sedangkan Asy Syaukani mengatakan bahwa unta udh-hiyah boleh untuk sepuluh orang dan unta al hadyu untuk tujuh orang. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/370)
[6] HR. Tirmidzi no. 905, Ibnu Majah no. 3131. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, sebagaimana dalam Misykatul Mashobih 1469 [17].
[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/405, Darul Ifta’
[8] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/403
[9] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/11011, Multaqo Ahlul Hadits.
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ibnu Katsir, 5/426, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[11] HR. Abu Daud no. 2810, At Tirmidzi no. 1521. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[12] Al Muntaqo Syarh Al Muwatho’, 3/113, Mawqi’ Al Islam.

Nitip Absen

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Soal : Kadangkala teman kuliah saya meminta bantuan saya saat pertemuan kuliah dilangsungkan untuk mencantumkan tanda kehadirannya (nitip absen)[1] padahal ia tidak hadir. Yaitu, ketika lembar kehadiran diedarkan, dan kemudian saya tulis namanya. Apakah hal ini termasuk bantuan yang bersifat kemanusiaan, ataukah termasuk kecurangan dan penipuan ?
Jawab : Itu memang bantuan,… tapi bantuan syaithaniyyah. Syaithan menyukai perbuatan ini yaitu mengabsenkan orang yang tidak hadir. Dalam hal ini ada tiga hal yang perlu diwaspadai :
Pertama, kebohongan/dusta; kedua, khianat terhadap penanggung jawab perkuliahan; ketiga, ia telah menjadikan orang yang tidak hadir ini mendapatkan tunjangan kehadiran yang dengan itu ia mengambil dan memakan tunjangan tersebut secara bathil. Salah satu saja dari ketiga hal ini telah cukup untuk menyatakan keharaman perbuatan tersebut dimana dhahir pertanyaan yang diajukan dipandang sebagai bagian dari perkara (bantuan) kemanusiaan.
Bantuan kemanusiaan tidaklah terpuji secara mutlak. Apa-apa yang sesuai dengan syari’at, maka itu terpuji; dan apa-apa yang menyelisihi syari’at, maka ia tercela. Pada hakekatnya, segala sesuatu yang menyelisihi syari’at dari apa-apa yang disebut sebagian orang sebagai perbuatan kemanusiaan, maka itu adalah penamaan yang bukan pada tempatnya. Segala sesuatu yang menyelisihi syari’at maka itu adalah perbuatan hewani. Karena itulah Allah menyifati perbuatan orang-orang kuffar dan musyrikin seperti perbuatan binatang; sebagaimana firman-Nya :
يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ
”Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” [QS. Muhammad : 12].
Dan juga firman-Nya :
إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِي
”Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [QS. Al-Furqaan : 44].
Maka, setiap hal yang menyelisihi syari’at adalah perbuatan hewani, bukan perbuatan manusiawi.[selesai]

[Fataawaa Islaamiyyah, oleh Ibnu ’Utsaimin (4/329-340) – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ pada tanggal 29 Muharram 1430 di Ciomas Permai, Bogor].


Teks asli :
السؤال : أحياناً يطلب مني زميلي في المحاضرة أن أقوم بتحضيره مع أنه غائب حيث تمر ورقة التحضير فأكتب اسمه. فهل هذه خدمة إنسانية، أم أنه نوع من الغش والخداع ؟.
الجواب : هي خدمة ولكنها خدمة شيطانية يمليها الشيطان على هذا الذي فعل وحضّر من ليس بحاضر وفي ذلك ثلاثة محاذير :
المحذور الأول : الكذب، والمحذور الثاني : خيانة المسؤولين في هذه المسلحة، والمحذور الثالث : أنه يجعل هذا الغائب مستحقاً للراتب المرتب على الحضور، فيأخذه ويأكله بالباطل. وواحد من هذه المحاذير يكفي بالقول في تحريم هذا التصرف الذي ظاهر سؤال السائل أنه من الأمور الإنسانية.
والأمور الإنسانية ليست محمودة على الإطلاق بل ما وافق الشرع منها فهو محمود وما خلف الشرع فهو مذموم. والحقيقة أن ما خالف الشرع مما يقال عنه عمل إنساني فإنه اسم على غير مسماه. لأن ما خالف الشرع فهو عمل بهيمي، ولهذا وصف الله الكفار والمشركين بأنهم كالأنعام : (يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ) [سورة محمد، الأٓية : ١٢] وقال : (إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا) [سورة الفرقان، الأٓية : ٤٤]. فكل ما خالف الشرع فهو عمل بهيمي لا إنساني.

[فتاوى إسلامية، ابن عثيمين (٤/٣٢٩،٣٣٠)]


[1]     Yang lebih tepat secara bahasa adalah nitip presensi (kehadiran).

Bagaimana Menjadi Pegawai yang Amanah? Bersih dari menerima Hadiah dan sogokan

AOleh
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad
[8]. PEGAWAI MENDAHULUKAN YANG DAHULU DALAM BERURUSAN
Termasuk sikap adil dan insaf ; hendaknya seorang pegawai tidak mengahirkan orang yang duluan dari orang-orang yang berurusan, atau mendahulukan orang yang belakangan. Akan tetapi ia mendahulukan berdasarkan urusan yang terdahulu. Dalam hal yang seperti ini memudahkan pegawai dan orang-orang yang berurusan.
Telah datang dalam sunnah Rasulullah apa yang menunjukkan atas itu. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-Bukhari]
Hadits ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah tidak menjawab si penanya tentang hari Kiamat melainkan setelah ia selesai berbicara kepada orang-orang yang telah mendahuluinya. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam uraiannya, “Disimpulkan darinya memberi pelajaran berdasarkan yang duluan, dan begitu juga dalam fatwa-fatwa, urusan pemerintahan dan lain sebagainya”.

Dan disebutkan dalam biografi Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari di kitab Lisanul Mizan karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Dan Ibnu Asakir mengeluarkan dari jalan Abu Ma’bad Utsman bin Ahmad Ad-Dainuri ia berkata, ‘Aku menghadiri majelis Muhammad bin Jarir dan hadir juga menteri Al-Fadhal bin Ja’far bin Al-Furat, dan dia telah didahului oleh seseorang. Maka berkata Ath-Thabari kepada orang tersebut, ‘Tidakkah engkau ingin membaca?’ Maka ia menunjuk kepada si menteri. Maka Ath-Thabari berkata, ‘Apabila giliran untukmu maka janganlah engkau terganggu oleh Dajlah (nama sungai) atau Efrat (Al-Furat)’. Aku katakan, “Dan ini sebagian dari keunikan dan kemahiran bahasanya serta tidak tertariknya ia pada anak-anak dunia”.
[9]. PEGAWAI HARUS MEMILIKI SIFAT IFFAH (MENJAGA KEHORMATAN) DAN BERSIH DARI MENERIMA SOGOKAN DAN HADIAH.
Setiap pegawai wajib menjadi seorang yang menjaga kehormatan dirinya, berjiwa mulia dan kaya hati. Jauh dari memakan harta-harta manusia dengan batil, dari apa-apa yang diberikan kepadanya berupa suap walau dinamakan dengan hadiah. Karena apabila dia mengambil harta manusia dengan tanpa hak berarti ia memakannya dengan batil, dan memakan harta dengan cara batil merupakan salah satu sebab tidak dikabulkannya do’a.
Muslim meriwayatkan di dalam shahihnya (1015) dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah bersabda,
“Sesungguhnya yang pertama busuk dari manusia adalah perutnya, maka barangsiapa yang sanggup untuk tidak memakan melainkan yang baik maka lakukanlah, dan barangsiapa yang bisa untuk tidak dihalangi antara dia dan surga walau dengan segenggam darah yang ditumpahkannya maka lakukanlah”
Dan yang juga diriwayatkannya (2083) dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli dengan cara apa dia mengambil harta, apakah dari yang halal atau dari yang haram”.
Menurut orang-orang yang mengambil harta tanpa peduli ini ; bahwasanya yang halal adalah yang berada di tangan dan yang haram adalah yang tidak sampai ke tangan. Adapun yang halal dalam Islam adalah apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang haram adalah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Telah datang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits-hadits yang menunjukkan dilarangnya aparat pekerja dan pegawai mengambil sesuatu dari harta walaupun dinamakan hadiah, diantaranya hadits Abi Sa’id Hamid As-Saidi, ia berkata.
“Artinya : Rasulullah mempekerjakan seseorang dari suku Al-Asad, namanya Ibnul Latbiyyah untuk mengumpulkan zakat, maka tatkala ia telah kembali ia berkata, ‘Ini untuk engkau dan ini untukku dihadiahkan untukku’. Ia (Abu Hamid) berkata, ‘Maka Rasulullah berdiri di atas mimbar, lalu memuja dan memuji Allah dan bersabda, ‘Kenapa petugas yang aku utus lalu ia mengatakan, ‘Ini adalah untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku?! Kenapa dia tidak duduk di rumah bapaknya atau rumah ibunya sehingga dia melihat apakah dihadiahkan kepadanya atau tidak?! Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah seorangpun dari kalian menerima sesuatu darinya melainkan ia datang pada hari Kiamat sambil membawanya di atas lehernya onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik’, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sampai kami melihat putih kedua ketiaknya, kemudian bersabda dua kali, ‘Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?” [Diriwayatkan Al-Bukhari 7174 dan Muslim 1832 dan ini adalah lafazhnya]
Dan di dalam shahih Bukhari (3073) dan shahih Muslim (1831) –dan dengan lafazhnya- dari Abu Hurairah, ia berkata.
“Artinya : Rasulullah berbicara kepada kami pada suatu hari, maka beliau menyebutkan Ghulul [1] dan beliau menganggapnya perkara yang besar, kemudian ia berkata, ‘Aku akan temui salah seorang kalian yang datang pada hari Kiamat di atas lehernya ada onta yang bersuara, ia berkata, ‘Hai Rasulullah, tolonglah aku’, maka aku (Rasulullah) mengatakan, ‘Aku tidak mampu berbuat apa-apa untukmu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak temui salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan kuda di atas pundaknya yang memiliki hamhamah (suara), lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Bantulah aku’, maka aku berkata, ‘Aku tidak bisa membantu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak dapatkan salah seorang darimu datang pada hari Kiamat dengan kambing yang mengembik diatas pundaknya seraya berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku menjawab, ‘Aku tidak mampu berbuat apa-apa untukmu, aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan dapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan membawa jiwa yang menjerit, lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku berkata, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan mendapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan pakaian diatas pundaknya ada shamit (emas dan perak), lalu ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, maka aku akan menjawab, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu”.
Riqa di dalam hadits ini maksudnya adalah pakaian dan shamit adalah emas dan perak.
Diantaranya hadits Abu Hamid As-Sa’di, bahwasanya Rasulullah bersabda.
“Artinya : hadiah-hadiah para pekerja adalah ghulul (khianat)”.
Diriwyatkan oleh Ahmad (23601) dan lainnya, dan lihat takhrijnya di kitab Irwa Al-Ghalil oleh Al-Albani (2622), dan ini semakna dengan hadits yang telah lalu dalam kisah Ibnu Al-Latbiyyah.
Diantaranya hadits Adi bin Umairah, ia berkata, “Aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan dari kami satu jarum atau yang lebih kecil, maka dia adalah ghulul dan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat” [Dikeluarkan oleh Muslim]
Diantaranya hadits Buraidah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu kami memberinya bagian, maka apa yang diambilnya setelah itu adalah perbuatan khianat” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad shahih, dan dishahihkan oleh Al-Albani]
Dan dalam biografi Iyadh bin Ghanam dari kitab Shifatush Shafwah oleh Ibnul Jauzi (1/277), ketika itu ia sebagai gubernur Himsh dalam pemerintahan Umar, bahwasanya ia berkata kepada sebagian kerabatnya dalam sebuah kisah yang panjang, ‘Demi Allah! Jika aku digergaji lebih aku sukai daripada aku berkhianat seperak uang atau aku melampaui batas!”.
Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar membimbing setiap pegawai dan pekerja dari kaum muslimin untuk menunaikan pekerjaannya sesuai dengan yang diridhai Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan ia mendapatkan pahala serta akhir yang terpuji di dunia dan akhirat.
Dan semoga Allah bershalawat dan salam serta memberikati hamba-Nyadan rasul-Nya, nabi kita Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya.
[Disalin dari kitab Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al-Amanah, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad, Penerjemah Agustimar Putra, Penerbit Darul Falah, Jakarta 2006]
__________
Foote Note
[1]. Al-Ghulul maksudnya perbuatan curang dan yang dimaksud hadits ini adalah mengmbil ghanimah (rampasan perang) dengan sembunyi-sembunyi sebelum dibagikan (pen).

Imam Ahmad bin Hanbal, Teladan dalam Semangat dan Kesabaran

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.
Kunyah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.
Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.
Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu
Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).
Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.
Di kota Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:
1. Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.
2. Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal banyak hadits darinya selama 4 tahun.
3. ‘Umair bin Abdillah bin Khalid.
4. Abdurrahman bin Mahdi.
5. Abu Bakr bin ‘Ayyasy.
Pada tahun 183 Hijriyah pada usia 20 tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada para ulama di kota Kufah. Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian pada tahun 187 H beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H beliau belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama Yahya bin Ma’in.
Yahya bin Ma’in menceritakan: “Aku keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari Baghdad ke Yaman, kami melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika sedang thawaf, tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf di Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad bin Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in melanjutkan, “Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “Sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas kita, dan mengistirahatkan kita dari perjalanan selama satu bulan. Abdurrazaq ada di sini. Mari kita mendengarkan hadits dari beliau!”
Maka Ahmad berkata, “Sungguh tatkala di Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq di Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah niatku selamanya.’ Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a. Kemudian habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima bantuan dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana dan makan dari hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat mulai dari Baghdad (‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau mengatakan: “Apalah arti beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan dengan ilmu yang aku dapatkan dari Abdurrazaq.”
Al-Imam Abdurrazaq sering menangis jika disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya, karena teringat akan semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta kebaikan akhlaknya.
Beliau melakukan perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti Syam, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan dan berbagai daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.
Pada umur 40 tahun, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur tersebut pula beliau menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama seperti Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan seorang Imam, beliau tetap menuntut ilmu.
Guru-guru beliau
Beliau menuntut ilmu dari para ulama besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin Uyainah, Al-Qadhi Abu Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’, Isma’il bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats, Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain dan lain-lain.
Al-Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.
Murid-murid beliau
Para ulama yang pernah belajar kepada beliau adalah para ulama besar pula seperti Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah, Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan Abdullah (putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.
Bahkan yang dulunya pernah menjadi guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan hadits dari beliau seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab, Al-Imam Asy-Syafi’i.
Al-Imam Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya bahkan dengan gelarnya, “Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang terpercaya).
Demikian pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.
Ahlak dan Ibadah Beliau rahimahullah
Pertumbuhan beliau berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku mengeluarkan biaya untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik agar mereka mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan ini (Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian bagaimana dia!”
Beliau adalah seorang yang menyukai kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih, paling perhatian terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut kepalanya dan bulu tubuhnya.
Orang-orang yang hadir di majelis beliau tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan kebanyakan mereka hanya sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.
Majelis yang diadakan oleh beliau dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat pelajaran yang beliau sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang. Sementara sisanya sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau sampaikan namun sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam perkara agama) beliau.
Yahya bin Ma’in berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami bersahabat dengannya selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan dirinya atas kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”
Beliau juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang tidak dikenal, karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan kemasyhuran.”
Beliau menolak untuk dicatat fatwa dan pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau: “Aku ingin menulis permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.” Berkata beliau: “Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”
Beliau adalah seorang yang sangat kuat ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah menceritakan tentang kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat pengaruh dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”
Abdullah mengatakan: “Terkadang aku mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan untuk beberapa orang dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak berdoa dan meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan shalat lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian berbuka sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam bulan Hijriyah).
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Ayah membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7 Al-Qur’an. Beliau tidur setelah Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun dan menghidupkan malamnya dengan berdoa dan shalat.
Suatu hari ada salah seorang murid beliau menginap di rumahnya. Maka beliau menyiapkan air untuknya (agar ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya, beliau mendapati air tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”
Beliau telah melakukan haji sebanyak lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan dengan berjalan kali dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah menginfakkan hartanya sebanyak 30 dirham.
Ujian yang menimpa beliau
Beliau menerima ujian yang sangat berat dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.
Sedangkan umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.
Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.
Wafat beliau rahimahullah
Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. Sakit beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia pun berduyun-duyun siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan dari sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan dan gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir membasahi bumi Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7 juta manusia ikut mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan orang-orang Yahudi, Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari tersebut.
Selamat jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu di tempat yang mulia di Jannah-Nya.
Maraji’:
1. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63-66.
2. Pewaris Para Nabi hal. 49,55,91,94,173,1843. Mahkota yang hilang hal.39
4. Kitab Fadhail Ash-Shahabah jilid I hal 25-32.
5. Siyar A’lamin Nubala
6. Al-Bidayah wan Nihayah
7. Mawa’izh Al-Imam Ahmad
Buletin Islam Al Ilmu Edisi No : 29/VII/VIII/1431
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=475

Rabu, 12 Oktober 2011

Bangkit, Menuntaskan Putus Asa

BANGKIT, MENUNTASKAN PUTUS ASA


Ada orang yang apabila melihat kawannya mendapatkan kemuliaan, ilmu atau lainnya, ia hanya bisa tertegun sambil berkata dalam hati, bagimana aku bisa seperti dia?

Atau kasus lain, seseorang selalu saja pesimis menghadapi suatu pekerjaan. Alasannya tidak lain, karena menurut yang ia dengan, pekerjaan yang dihadapinya itu sulit.

Dalam realita lain, tatkala sebuah penyakit sedang mendera, penderita hanya pasrah total terhadap penyakit tersebut. Seharian dihabiskan dalam tangisan semata, tanpa usaha dan upaya. Seolah-olah harapan sudah tertutup rapat.

Atau bisa saja dalam kehidupan rumah orang tua merasa capek, manakala melihat sang buah hatinya berulah, bandel dan nakal. Banyak petuah telah diupayakan agar sang anak menyadari pentingnya berbuat santun. Tapi apa dikata, ternyata sang anak justru melawan menentang. Dia tetap bandel, nakal dan urakan. Menghadapi kenyataan ini, terpaksa sebagai orang tua hanya mengelus dada, bersabar. Namun, terkadang membuatnya putus harapan mengahadapi kenyataan pahit ini.

Itu sebagian potret sikap keterputus-asaan, yang terkadang menyelinap hinggap pada seseorang. Semua rasa pesimis tersebut harus dipupus. Karena, Allah pasti memberikan pertolongan dan jalan keluar bagi yang mau berusaha.

Jalan keluar menghadapi putus asa ini dapat ditempuh dengan mengetahui hakikatnya, faktor penyebab masalah yang sedang melilitnya, dan dampak apa dengan solusi yang diambilnya. Bila sudah diketahui dengan seksama, niscaya akan membantu mengentaskan diri dari penyakit ini, atau menghindarinya sebelum menimpanya secara lebih berat.

Ada beberapa langkah yang perlu diambil untuk melibas penyakit putus asa.

1. Memantapkan Keimanan Terhadap Qadha Dan Qadar
Ini merupakan faktor penting untuk bisa menenangkan hati kaum Mukminin. Bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apabila Allah tidak menghendaki, pasti tidak akan terjadi. Allah telah menentukan takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ وَاللهُ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ {23}

Tiada satu pun bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [al Hadid : 22-23].

Rasulullah Shallallahu wa sallam bersabda.

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَ ئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah menuliskan takdir makhluk-makhluk sebelum penciptaan langit dan bumi selama lima puluh ribu tahun. [HR Muslim, 4797 dan at Tirmidzi, 2157].

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh terus-menerus terbenam ke dalam kesedihan atas musibah, ataupun kegagalan yang menimpanya. Tidak lantas menjerumuskan diri ke dalam maksiat. Seorang muslim harus kuat, tegak, teguh hati menerima ketentuaan Allah dan takdirNya. Keimanan kepada takdir Allah ini, membantu seseorang menempuh kesulitan-kesulitan dengan hati yang mantap, tenang dan pikiran jernih.

2. Berbaik Sangka Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Inilah salah satu kewajiban seorang muslim kepada Allah. Berbaik sangka akan membuka pintu harapan, dan dapat mengenyahkan bisikan putus asa. Ingatlah, sikap berburuk sangka bertentangan dengan tauhid, keimanan kepada Allah dan ilmu serta hikmahNya. Allah mengingkari orang-orang yang berburuk sangka kepadaNya. Allah berfirman :

…… يَظُنُّونَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ……

…… mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. ……. [Ali Imran : 154]

3. Memanjatkan Doa
Seberat apapun masalah yang sedang menimpa, seorang hamba tidak sepantasnya berputus harapan dari rahmat Allah. Semua permasalahan yang menghimpitnya harus dikembalikan kepada Allah. Kita wajib bersimpuh memanjatkan doa, berupaya sekuat-kuatnya dan bersabar. Dengan harapan, Allah akan melenyapkan kesusahan ataupun cobaan yang sedang menimpa.

Dalam perang Badr, perang pertama dalam Islam; tatkala melihat sedikitnya jumlah pasukan kaum Muslimin dan minimnya persiapan mereka, sementara musuh mempunyai kekuatan lebih besar, maka Rasulullah berdiri memanjatkan doa. Cukup lama Rasulullah berdoa, sampai-sampai pakaian bagian atas beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam jatuh dari pundaknya.

Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu merasa kasihan dan menghibur beliau dengan berkata: “Allah tidak akan menyia-nyiakanmu sedikit pun, wahai Rasulullah," dan kemudian datanglah bantuan dan kemenangan dari Allah lewat firmanNya :

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِّنَ الْمَلاَئِكَةِ مُرْدِفِينَ

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu diperkenankanNya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut". [al Anfal : 9].

Ketika seorang hamba berdoa kepada Allah, memohon agar permasalahan yang menghimpitnya selesai, pada dasarnya ia telah membuktikan tauhidnya. Dan tauhid yang benar akan menyelamatkan dari jeratan fitnah serta ujian.

Jika menelaah perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat serta generasi Salaf, kita akan mengetahui betapa mereka sangat bertumpu dengan memanfaatkan kekuatan doa. Betapa mengagumkan, dan sekaligus membuka tabir, bahwa diri kita kurang menekuni ibadah yang satu ini. Betapa banyak masalah, yang bisa telah terselesaikan berkat doa kepada Allah Ta'ala?

Tentunya, doa ini harus dibarengi juga dengan upaya memperbaiki diri. Sebab, bisa jadi, kegagalan atau musibah yang menimpa seorang hamba, lantaran kurangnya ia dalam memperhatikan aturan Allah.

4. Meneguhkan Tawakkal Kepada Allah Subahnahu Wa Ta'ala
Kekuatan yang hakiki adalah kekuatan hati dan kemampuan untuk bertahan diri. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, sesungguhnya tawakkal termasuk salah satu faktor yang kuat dalam membantu mewujudkan cita-cita (keinginan) dan menepis perkara yang tidak disukai. Ia merupakan motivasi yang paling kuat. Hakikat tawakkal, ialah ketergantungan hati hanya kepada Allah semata. Usaha yang dilakukan tidak memiliki pengaruh, jika hati kosong dari penyerahan diri kepada Allah dan bahkan cenderung kepada selainNya. Sebagaimana tidak bermanfaat perkataan orang “aku bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi, ternyata dirinya sangat tergantung, pasrah dan percaya kepada selainNya. Tawakkal pada mulut memiliki makna sendiri, dan tawakkalnya hati mempunyai makna yang lain.

Oleh karena itu, al Hasan Bashri mengatakan : “Sesungguhnya, tawakkal seorang hamba kepada Rabb-nya adalah, ia meyakini bahwa Allah itu menjadi sumber kepercayaan dirinya”.

Dalam kesempatan lain, beliau menyatakan, Allah menjamin rezeki bagi hamba yang menyembahNya, dan kemenangan bagi orang yang bertawakkal dan memohon pertolongan kepadaNya, serta kecukupan bagi orang yang menjadikan Allah sebagai pusat dan tujuan utama. Orang yang cerdas lagi pintar, ia akan memikirkan perintah Allah, pelaksanaannya dan taufik dariNya, bukan menunggu-nunggu jaminan dariNya. Sesungguhnya Allah menepati janji lagi jujur. Siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah?[1]

5. Memiliki Tekad Yang Tinggi
Seorang hamba akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan kadar tekad dan semangatnya. Orang yang benar-benar ingin menggapai satu tujuan, pasti akan mengoptimalkan segala daya upaya dalam mewujudkannya. Segala yang berpotensi menghalangi pencapaiannya, akan disingkirkan, demi mempercepat dan melempangkan jalan menuju tangga kesuksesan yang selama ini diidamkannya. Detik-detik waktunya selalu disibukkan dengan hal tersebut. Mencari-cari kesempatan dan sarana yang bisa membantu pencapaian keberhasilannya. Pikiran dan kata hatinya juga larut dengannya. Karena ia mengetahui, “keberhasilan sesuai dengan kepenatan yang dilalui”.

6. Sabar Dan Bersikap Tenang
Kita mesti ingat, semua masalah menuntut kesabaran dan kebesaran jiwa. Yakinkah, bahwa perkara-perkara yang menyulitkan hanya “takluk” dengan kesabaran. Demikian juga dengan ketenangan, ia sangat berperan membantu seseorang saat melewati kesulitan yang menghadangnya. Kesabaran ini tiada batas. Ia dibutuhkan sampai ajal tiba.

Kita harus memahami, bahwa ketentuan takdir pasti datang. Karena seorang hamba, ia tidak lepas dari dua kondisi. Yaitu yang menggembirakan dan keadaan yang sangat tidak disukainya.

Misal kondisi pertama, ia dikaruniai kesehatan, harta, kedudukan, berbagai kenikmatan lainnya. Dalam kondisi yang menggemberikan ini, ia pun diharuskan bersabar. Yakni :

- Tidak tertipu dengannya, dan jangan sampai kegembiraan yang diarihnya menyeretnya berbuat takabur, jahat dan sebagainya.
- Tidak terlalu larut atau lupa diri dalam mencapainya, karena akan membahayakannya. Orang yang ghuluw, hakikatnya mendekatkan diri dengan perilaku negatif. Jika mendapat kegembiraan, ia bersabar dalam melaksanakan hak Allah dan tidak melalaikannya.
- Menahan diri tidak memanfaatkan kenikmatan yang telah diraihnya untuk perkara yang diharamkan

Sebagian ulama Salaf mengatakan : "Ujian musibah dapat dilewati oleh orang mukmin dan orang kafir. Namun ujian dengan kenikmatan, tidak ada yang mampu bersabar dengannya, kecuali orang-orang yang jujur keimanannnya".

Adapun dalam kondisi kedua, yaitu keadaan yang tidak disukainya. Ini terbagi menjadi dua macam. Yakni yang berkaitan dengan kehendaknya, seperti mengerjakan ketaatan ataupun maksiat. Dan jenis kedua, yaitu tidak berhubungan dengan kehendaknya, misalnya datangnya musibah.

Oleh karenanya, Allah memerintahkan untuk mencari bantuan melalui kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. [al Baqarah : 45].

Penyebutan sabar dalam al Qur`an tidak kurang dari tujuh puluh kali, dan seluruhnya dalam bentuk pujian. Di antaranya, menghubungkan kesuksesan dengan kesabaran (QS Ali Imran ayat 200), menghubungkan kepemimpinan dalam agama dengan kesabaran dan keyakinan [Sajdah ayat 23].

7. Menumbuhkan Sifat Optimisme Dan Berpikir Positif
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menyukai sikap tafa-ul (optimis) dan membenci tasya-um (pesimis). Dalam Shahih al Bukhari, dari Anas Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ

Tidak ada penyakit yang menular sendiri, dan tidak ada kesialan. Optimisme (yaitu) kata-kata yang baik membuatku kagum.[2]

Al Hulaimi rahimahullah mengatakan: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam suka dengan optimisme, karena pesimis merupakan cermin persangkaan buruk kepada Allah l tanpa alasan yang jelas. Optimisme diperintahkan dan merupakan wujud persangkaan yang baik. Seorang mukmin diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap kondisi".[3]

Sesungguhnya, kehancuran semangat merupakan kerugian yang tidak bisa diukur dengan materi. Berpikir positif dan semangat untuk berkompetisi harus selalu menyala dalam kalbu setiap muslim, jangan sampai pudar.

Demikian juga, hendaknya kita melihat limpahan nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak pernah putus. Terutama nikmat iman dan Islam. Kalaupun Allah Subhanahu wa Ta'ala menunda kenikmatan yang lain, bila kita mau jujur, kenikmatan yang sudah kita terima dariNya masih jauh lebih banyak. Jika ada satu masa yang menghimpit, maka lihatlah, sudah berapa lama kita berada dalam keadaan bugar, leluasa tanpa masalah yang berarti?
Renungkanlah!

8. Menelaah Biografi Salaful Ummah
Yang dimaksud dengan Salaful Ummah, yaitu para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Generasi pertama, para pembela Islam dan pemikul risalah kepada generasi berikutnya. Mereka adalah manusia yang paling kuat keimanannya, paling bersih hatinya, paling tinggi tingkat tawakkalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Jika menyelami kisah hidup mereka yang penuh cahaya, kita akan berkesimpulan, bahwa perjalanan hidup mereka tidak selalu mulus, penuh ujian dan pengorbanan disertai ketabahan yang tinggi saat kalah oleh musuh dalam membela kebenaran. Menelaah peri hidup mereka, akan mampu menambah keimanan, mencerahkan hati. Juga akan mengantarkan kepada pemahaman, jika kehidupan itu tidak steril dari onak dan duri. Jalan kehidupan tidak selalu berhiaskan mawar yang semerbak mewangi, tetapi ada saja halangan dan ujian menghadang, ataupun mungkin berujung pada kegagalan.

Secara umum, Allah menegaskan manfaat kisah-kisah para nabi dan rasul sebelumnya yang mampu juga meneguhkan hati dan memberikan secercah harapan. Renungkanlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَآءِ الرُّسُلِ مَانُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَآءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. [Hud : 120].

Perenungan ini akan memacu semangat baru dalam mengarungi kehidupan yang terjal. Sebab ternyata ia tidak sendirian mengalami kepahitan, bahkan orang-orang terbaik yang pernah berjalan di muka bumi ini, semua pernah merasakan kepahitan.

9. Membekali Diri Dengan Ilmu Agama
Orang yang berilmu itu lebih dahsyat dirasakan beratnya oleh setan daripada ahli ibadah yang yang tak berilmu. Tipu daya setan lemah di hadapan orang yang berilmu. Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu mengatakana,"Ia (ilmu) adalah teman dalam keadaan bahagia dan kesusahan, serta senjata di hadapan musuh".[4]

Demikian beberapa langkah, agar kita mampu memupus putus asa. Kuatkan tekad, yaitu dengan selalu memiliki sifat optimis tak putus harapan, bercermin kepada orang-orang yang sukses melewati rintangan. Jauhkan hati dari sifat kerdil, karena ia hanya akan menambah kelemahan.

Maraji` :
- Kaifa Tuwajihu al Ya`sa fil Hayati al 'Amaliyyah wa al 'Ilmiyyah wa al 'Ibadiyyah wa ad Da'awiyyah, Abdul Karim ad Diwan, Darul Huda an Nabawi dan Daru al Fadhilah, Riyadh, Cet. II, Th. 1425.
- Asbabu Ziyadati al Iman wa Nuqshanihi, Prof. Dr. Abdur Razaq al Badr, Ghiras Kuwait, Cet. III, Th. 1424 H / 2003 M.
- Al Bahru ar Raiq fi az Zuhdi wa ar Raqaiq, karya Dr. Ahmad Farid, Darul Iman, Mesir, tanpa tahun.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Fawaid, 149.
[2]. HR al Bukhari (10/181) dan Muslim (2224).
[3]. Fathu al Bari (10/226).
[4]. Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al Jami’ (1/65).

Kesepakatan Antara Penyihir Dan Syaitan. Senin, 16 Mei 2005 08:53:55 WIB

Oleh
Wahid bin Abdissalam Baali




Seringkali terjadi kesepakatan antara tukang sihir dengan syaitan, bahwa pihak pertama, yaitu tukang sihir, akan mengerjakan beberapa kesyirikan, atau kekufuran yang nyata baik secara terselubung maupun terang-terangan sedangkan pihak syaitan akan melayani tukang sihir atau menundukkan orang yang akan melayani si tukang sihir.

Karena kesepakatan itu seringkali terjadi antara tukang sihir dan syaitan dari para pemuka kabilah jin dan syaitan, sehingga sang pemuka ini akan mengeluarkan perintah kepada anggota kabilah yang paling bodoh untuk melayani si tukang sihir ini serta mentaatinya dalam menjalankan semua perintahnya, yaitu memberitahukan berbagai hal yang telah terjadi atau melakukan upaya memisahkan dua belah pihak atau menyatukan cinta dua orang, atau menghalangi seorang suami agar tidak dapat mencampuri istrinya dan sebagainya. Perkara-perkara ini akan kita bahas dengan rinci, (pada pembahasan berikutnya), insya Allah Ta'ala.

Selanjutnya si tukang sihir mengerahkan jin ini untuk mengerjakan perbuatan jahat yang dia inginkan. Jika si jin tidak mentaatinya, maka dia akan mendekati pemuka kabilah jin itu dengan menggunakan berbagai macam jimat yang isinya berupa pengagungan pemuka kabilah ini seraya meminta pertolongan kepadanya dengan menyisihkan Allah Ta'ala. Maka, si pemuka jin inipun segera memberikan hukuman kepada jin tersebut dan menyuruhnya agar mentaati si tukang sihir atau dia akan menggantikan dengan jin yang lain untuk melayani tukang sihir yang musyrik itu.

Oleh karena itu kita bisa mendapatkan hubungan antara tukang sihir dengan jin yang ditugaskan untuk melayaninya sebagai hubungan kebencian dan permusuhan. Dan dari sini kita akan dapatkan bahwa jin tersebut seringkali menyakiti istri dan anak-anak tukang sihir itu atau mengganggu harta bendanya atau yang lainnya. Bahkan, terkadang jin itu menyakiti tukang sihir itu sendiri tanpa disadarinya, misalnya pusing yang terus-menerus, gangguan yang sering muncul pada saat tidur, atau kecemasan pada malam hari dan lain sebagainya. Bahkan seringkali tukang sihir yang hina tersebut tidak punya anak, karena jin yang melayaninya telah membunuh janin yang masih ada di dalam rahim sebelum penciptaannya sempurna. Yang demikian itu sudah sangat populer di kalangan para tukang sihir, bahkan sebagian mereka ada yang meninggalkan profesi tukang sihir ini agar mereka bisa mendapatkan keturunan.

Perlu saya ceritakan, saya pernah mengobati seorang wanita yang sedang sakit karena tersihir. Pada saat saya bacakan al-Qur'an di dekatnya, maka jin yang di tugaskan tukang sihir itu berbicara melalui lidah wanita tersebut, 'Aku tidak bisa keluar dari tubuh wanita ini'. 'Mengapa?' tanyaku. Dia pun menjawab, 'Karena aku takut akan dibunuh oleh si tukang sihir'. Selanjutnya, aku tanyakan, 'Pergilah dari tempat ini ke tempat lain yang tidak diketahui oleh si tukang sihir yang menyuruhmu'. 'Dia pasti akan mengirim jin lain untuk mencariku', sahut jin tersebut.

Kemudian kukatakan kepadanya, 'Jika kamu mau masuk Islam dan mengumumkan taubatmu dengan penuh kejujuran dan tulus ikhlas, maka kami dengan pertolongan Allah akan mengajarimu beberapa ayat al-Qur'an yang dapat menjaga dan melindungimu dari kejahatan jin-jin kafir. Maka dia pun menjawab, 'Tidak, aku tidak akan pernah masuk Islam, dan aku akan tetap menjadi pemeluk Nasrani'. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, tetapi yang paling penting kamu harus keluar dari tubuh wanita ini', pintaku kepadanya. 'Aku tidak akan keluar dari tubuhnya', jawabnya pasti. Kemudian aku katakan, 'Kalau begitu, dengan pertolongan Allah, sekarang kami bisa membacakan al-Qur'an kepadamu sehingga kamu akan terbakar'. Lalu aku memukulnya dengan keras sehingga jin itu menangis. Maka jin itu berkata, 'Aku akan keluar, aku akan keluar'. Selanjutnya, segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam, dan segala karunia itu hanya milik-Nya semata, jin itu pun keluar dari tubuhnya.

Sebagaimana diketahui bersama, jika tukang sihir itu semakin kufur dan bertambah jahat, maka jin akan lebih mentaatinya dan akan segera malaksanakan tugas yang diperintahkan kepadanya. Begitu juga sebaliknya.

[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]

MANUSIA MELIHAT JIN

Manusia tidak memiliki kemampuan melihat jin dalam bentuk aslinya, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. [al A’raf : 27].

Firman Allah Azza wa Jalla pada ayat ini “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka”, menunjukkan bahwa manusia tidak dapat melihat jin, yaitu pada bentuknya yang asli. Namun melihat penjelmaan jin, hal ini bisa dan telah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau setelahnya. Ketika menjelaskan faidah-faidah dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang menangkap setan, [1]. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: Bahwa setan terkadang menjelma dengan berbagai bentuk sehingga memungkinkan (manusia) melihatnya. Dan firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka (al A’raf ayat 27)”, dikhususkan jika pada bentuknya (yang asli) yang Allah telah ciptakan. [Fathul Bari, penjelasan hadits no. 2311].

Demikian juga berdialog dengan jin dan mengusir jin yang masuk ke dalam tubuh seseorang, merupakan perkara yang benar-benar terjadi. Tetapi kemampuan melakukan hal-hal di atas, tidak berarti menunjukkan kemuliaan orang tersebut di sisi Allah Azza wa Jalla. Karena kemulian manusia di sisi Allah adalah ditentukan oleh ketakwaannya kepada Allah.

Jika mengusir jin yang masuk ke dalam orang itu dilakukan menurut syari’at, maka dibenarkan. Dan sebaliknya, jika menyelisihi syari’at, maka terlarang.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, mengobati mashru’ (orang yang kerasukan jin) dengan mantra-mantra dan doa-doa perlindungan ada dua bentuk.

Pertama : Jika mantra-mantra dan doa-doa perlindungan itu termasuk diketahui maknanya, dan seseorang boleh mengucapkannya di dalam agama Islam, orang itu berdoa kepada Allah, menyebut kepadaNya, berbicara kepada makhlukNya, [2] dan semacamnya, maka sesungguhnya seseorang boleh membacakan mantra itu kepada seseorang yang kerasukan jin dan mendoakan perlindungan (dengannya). Karena sesungguhnya telah tetap di dalam (hadits) shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau mengizinkan mantra-mantra selama bukan merupakan kesyirikan. Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

Barangsiapa mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah dia lakukan. [HR Muslim, no. 2199].

Kedua : Jika di dalam mantra-mantra itu terdapat kalimat-kalimat yang diharamkan, seperti di dalamnya terdapat kesyirikan atau kalimat-kalimat yang tidak diketahui artinya, dimungkinkan di dalamnya terdapat kekafiran, maka seorang pun tidak boleh membacakan mantra dengannya, atau berdoa, atau bersumpah (dengannya), meskipun jin terkadang pergi dari orang yang kesurupan dengan mantra-mantra seperti itu. Karena sesungguhnya, apa yang Allah dan RasulNya haramkan, bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. [Majmu’ Fatawa, 24/277-278].

Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar berkata, ”Yang paling baik digunakan untuk melawan jin yang masuk ke dalam tubuh manusia adalah dzikrullah (dzikir kepada Allah) dan bacaan Al Qur`an. Dan yang paling besar dari itu ialah bacaan ayat kursi, karena sesungguhnya orang yang membacanya akan selalu dijaga oleh penjaga dari Allah, dan ia tidak akan didekati oleh setan sampai Subuh, sebagaimana telah shahih hadits tentang itu”. [Alamul Jin Wasy Syayathin, hlm. 180, karya Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar, Penerbit Darun Nafais].

Kejadian mengeluarkan jin dari tubuh seseorang juga pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Antara lain ditunjukkan oleh hadits-hadits berikut ini:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ قَالَ لَمَّا اسْتَعْمَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الطَّائِفِ جَعَلَ يَعْرِضُ لِي شَيْءٌ فِي صَلَاتِي حَتَّى مَا أَدْرِي مَا أُصَلِّي فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ رَحَلْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ابْنُ أَبِي الْعَاصِ قُلْتُ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا جَاءَ بِكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَرَضَ لِي شَيْءٌ فِي صَلَوَاتِي حَتَّى مَا أَدْرِي مَا أُصَلِّي قَالَ ذَاكَ الشَّيْطَانُ ادْنُهْ فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَجَلَسْتُ عَلَى صُدُورِ قَدَمَيَّ قَالَ فَضَرَبَ صَدْرِي بِيَدِهِ وَتَفَلَ فِي فَمِي وَقَالَ اخْرُجْ عَدُوَّ اللَّهِ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ الْحَقْ بِعَمَلِكَ قَالَ فَقَالَ عُثْمَانُ فَلَعَمْرِي مَا أَحْسِبُهُ خَالَطَنِي بَعْدُ

Dari Utsman bin Abil ‘Ash, dia berkata: Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikanku gubernur di Thaif, ada sesuatu yang mendatangiku di dalam shalatku, sehingga aku tidak mengetahui shalatku. Ketika aku melihat hal itu, aku pergi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bertanya,”(Itu) Ibnu Abil ‘Ash?” Aku menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya,”Apa yang menyebabkanmu datang?” Aku menjawab,”Wahai, Rasulullah. Ada sesuatu yang mendatangiku di dalam shalatku, sehingga aku tidak mengetahui shalatku. ” Beliau berkata,” Itu adalah setan, mendekatlah engkau!” Maka aku mendekati Beliau, lalu aku duduk di atas ujung-ujung telapak kakiku. Lalu Beliau memukul dadaku dengan tangannya dan meludahi mulutku, seraya berkata,”Keluarlah wahai musuh Allah!” Beliau melakukannya tiga kali, lalu bersabda, ”Kembalilah kepada tugasmu”.
Utsman mengatakan,”Sungguh aku tidak menyangkanya mengangguku setelah itu.” [HR Ibnu Majah, no. 3548, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits ini pernah dimuat dalam rubrik hadits majalah As Sunnah, edisi 10/Th. I/1415H/1994 M, dengan judul “Fadhilah Ayat Kursi” tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah
[2]. Beginilah yang tertulis di dalam kitab Majmu’atul Fatawa (12/385) : مُخَاطِبًا لِخَلْقِهِ , namun di dalam kitab Fathul Mannan Fi Jam’i Kalami Syaikhil Islam Ibni Taimiyah ‘Anil Jaan, hlm. 436, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, tertulis: مُخَاطِبًا لِخَالِقِهِ (berbicara kepada Penciptanya)
Design by Visit Original Post Islamic2 Template