Dalam At-Ta’rifat 1:36, disebutkan bahwa suap adalah semua yang diberikan kepada pihak tertentu agar pihak tersebut membatalkan hak orang yang semestinya berhak menerima atau agar memberikan hak kepada orang yang tidak berhak menerima sesuatu.”
Suap adalah dosa besar
Akan tetapi, orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada PNS atau pak hakim untuk mendapatkan haknya atau mencegah kezaliman dari dirinya tidak dinilai sebagai orang yang menyuap. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih diantaranya adalah Atha, Jabir bin Zaid, dan Al-Hasan Al-Bashri , Ibnu Taimiyah dan dipilih oleh Syekh Al-Albani. Dosa dalam kasus ini ditanggung oleh orang yang menerima suap karena dia berkewajiban untuk tidak melakukan kezaliman dan semestinya memberikan layanan kepada masyarakat sebagaimana semestinya tanpa meminta imbalan kepada mereka.
Dalam Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin 4:131, An-Nawawi mengatakan, “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.”
Ibnu Qudamah Al-Hanbali dalam Al-Mughni 23:28 mengatakan, “Suap di dunia pengadilan dan suap untuk pejabat negara adalah haram tanpa ada perselisihan pendapat di antara ulama mengenai status hukumnya. Jika pemberi suap itu bertujuan agar hakim memenangkan perkaranya atau untuk mencegah orang lain dari haknya maka pemberi uang suap adalah orang yang dilaknat.
Jabir bin Zaid mengatakan, “Kami tidak menganggap ada sesuatu yang lebih bermanfaat pada saat masa pemerintahan Ziyad dibandingkan suap.”
Suap dalam kondisi ini, yakni dalam rangka menyelamatkan hak (semisal harta) dan ini tentu saja hukumnya boleh sebagaimana bolehnya menyelamatkan tawanan dengan uang.
Adapun jika seorang hakim menerima uang suap atau hadiah yang seharusnya tidak dia terima, setelah bertaubat ia diwajibkan mengembalikan uang suap atau hadiah terlarang tersebut. Karena pak hakim dalam hal ini mengambil harta yang bukan haknya status hartanya serupa dengan harta yang didapat dari transaksi yang tidak sah. Namun, bisa juga uang suap atau hadiah tersebut dimasukkan ke kas negara, karena Nabi tidak memerintahkan Ibnu Lutaibah –sahabat yang menerima komisi dari tugas yang ia emban- untuk mengembalikan hadiah haram kepada masing-masing pemiliknya”.
Perlu diperhatikan bahwa suap untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu memiliki sisi negatif juga, yaitu membantu orang yang diberi suap untuk melakukan dosa padahal kita dilarang tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Oleh karena itu, tidak boleh melakukan hal ini kecuali saat ada kebutuhan dan tidak memungkinkan untuk bisa mendapatkan hak atau mencegah kezaliman kecuali dengan suap.
Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam 6: 417 mengatakan, “Suap kepada hakim supaya ia memenangkan perkaranya padahal dia merupakan pihak yang salah merupakan perbuatan yang haram bagi penerima dan pemberi suap. Sedangkan suap kepada hakim agar hakim memenangkan perkaranya dan memang dia adalah pihak yang benar, hukum suap ini haram bagi hakim yang menerima uang suap namun tidak haram bagi pemberi suap karena suap itu alat untuk mendapatkan hak maka uang suap dalam hal ini bagaikan uang yang diberikan kepada budak yang kabur agar mau kembali kepada tuannya dan sebagaimana upah untuk pengacara. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa suap untuk mengambil hak hukumnya tetap haram karena suap semacam ini menjerumuskan pihak yang disuap ke dalam dosa.”
Sumber: http://mareb.org/
Suap adalah dosa besar
قال عبد الله بن عمرو - رضي الله عنهما- : " لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي" . رواه أبو داود وابن ماجه وصححه الألباني
Abdullah bin Amr radhiallahu’anhu mengatakan, “Bahwa rasulullah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima uang suap.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).Akan tetapi, orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada PNS atau pak hakim untuk mendapatkan haknya atau mencegah kezaliman dari dirinya tidak dinilai sebagai orang yang menyuap. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih diantaranya adalah Atha, Jabir bin Zaid, dan Al-Hasan Al-Bashri , Ibnu Taimiyah dan dipilih oleh Syekh Al-Albani. Dosa dalam kasus ini ditanggung oleh orang yang menerima suap karena dia berkewajiban untuk tidak melakukan kezaliman dan semestinya memberikan layanan kepada masyarakat sebagaimana semestinya tanpa meminta imbalan kepada mereka.
قال صلى الله عليه وسلم : " هدايا العمال غلول" رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني
Nabi bersabda, “Hadiah untuk pegawai adalah ghulul (harta khianat)” (HR. Ahmad dan Baihaqi dan dinilai shahih oleh al Albani).Dalam Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin 4:131, An-Nawawi mengatakan, “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.”
Ibnu Qudamah Al-Hanbali dalam Al-Mughni 23:28 mengatakan, “Suap di dunia pengadilan dan suap untuk pejabat negara adalah haram tanpa ada perselisihan pendapat di antara ulama mengenai status hukumnya. Jika pemberi suap itu bertujuan agar hakim memenangkan perkaranya atau untuk mencegah orang lain dari haknya maka pemberi uang suap adalah orang yang dilaknat.
Jabir bin Zaid mengatakan, “Kami tidak menganggap ada sesuatu yang lebih bermanfaat pada saat masa pemerintahan Ziyad dibandingkan suap.”
Suap dalam kondisi ini, yakni dalam rangka menyelamatkan hak (semisal harta) dan ini tentu saja hukumnya boleh sebagaimana bolehnya menyelamatkan tawanan dengan uang.
Adapun jika seorang hakim menerima uang suap atau hadiah yang seharusnya tidak dia terima, setelah bertaubat ia diwajibkan mengembalikan uang suap atau hadiah terlarang tersebut. Karena pak hakim dalam hal ini mengambil harta yang bukan haknya status hartanya serupa dengan harta yang didapat dari transaksi yang tidak sah. Namun, bisa juga uang suap atau hadiah tersebut dimasukkan ke kas negara, karena Nabi tidak memerintahkan Ibnu Lutaibah –sahabat yang menerima komisi dari tugas yang ia emban- untuk mengembalikan hadiah haram kepada masing-masing pemiliknya”.
Perlu diperhatikan bahwa suap untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu memiliki sisi negatif juga, yaitu membantu orang yang diberi suap untuk melakukan dosa padahal kita dilarang tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Oleh karena itu, tidak boleh melakukan hal ini kecuali saat ada kebutuhan dan tidak memungkinkan untuk bisa mendapatkan hak atau mencegah kezaliman kecuali dengan suap.
Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam 6: 417 mengatakan, “Suap kepada hakim supaya ia memenangkan perkaranya padahal dia merupakan pihak yang salah merupakan perbuatan yang haram bagi penerima dan pemberi suap. Sedangkan suap kepada hakim agar hakim memenangkan perkaranya dan memang dia adalah pihak yang benar, hukum suap ini haram bagi hakim yang menerima uang suap namun tidak haram bagi pemberi suap karena suap itu alat untuk mendapatkan hak maka uang suap dalam hal ini bagaikan uang yang diberikan kepada budak yang kabur agar mau kembali kepada tuannya dan sebagaimana upah untuk pengacara. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa suap untuk mengambil hak hukumnya tetap haram karena suap semacam ini menjerumuskan pihak yang disuap ke dalam dosa.”
Sumber: http://mareb.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar