Rabu, 12 Oktober 2011

Kurban Dan Pensyariatannya

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi



Hukum Kurban
Kurban merupakan salah satu sembelihan yang disyariatkan sebagai ibadah dan amalan mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang dinyatakan Ibnul Qayyim dalam pernyataannya : “Sembelihan-sembelihan yang menjadi amalan mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah adalah Al-Hadyu, Al-Adhhiyah (Kurban) dan Al-Aqiqah” [1]. Disyariatkannya kuban sudah merupakan ijma yang disepakati kaum muslimin [2]. Namun tentang hukumnya masih diperselisihkan para ulama, yang terbagi dalam beberapa pendapat.

Pertama : Wajib Bagi Yang Mampu
Demikian ini pendapat Abu Hanifah dan Malik. Madzhab inipun dinukil dari Rabi’ah Al-Ra’yi, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad [3] dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal [4]. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah [5]. Dan Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : “Pendapat yang mewajibkan bagi orang yang mampu adalah kuat, karena banyaknya dalil yang menujukkan perhatian dan kepedulian Allah padanya” [6]

Kedua : Sunnah Atau Sunnah Muakkad Bagi Yang Mampu
Inilah pendapat jumhur ulama [7]. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Hazm yang mengatakan : “Tidak shahih dari seorangpun dari para sahabat yang menyatakan wajibnya. Yang benar, menurut jumhur, kurban itu tidak wajib. Dan tidak ada peselisihan, jika ia merupakan salah satu syi’ar agama” [8]

Ketiga : Fardhu Kifayah
Ini merupakan satu pendapat dalam madzhab Syafi’i

Dalil Pendapat Pertama
[1]. Hadits Al-Bara bin Azib, beiau berkata : “Abu Burdah telah menyembelih kurban sebelum shalat (Ied), lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Gantilah”, ia menjawab, “Saya tidak punya kecuali Jaz’ah”. Maka beliau berkata : “Jadikanlah ia sebagai penggantinya, dan hal itu tidak berlaku pada seorangpun setelahmu” [Muttafaq Alaihi]

Orang yang mewajibkan berhujjah dengan hadits ini. Mereka menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Burdah untuk mengulangi penyembelihannya jika telah melakukannya sebelum shalat. Tentunya, hal seperti ini tidak dikatakan, kecuali dalam perkara yang wajib saja.

[2]. Hadits Jundab bin Abdillah bin Sufyan Al-Bajali beliau berkata : “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari Nahar (‘Ied Al-Adha), kemudian berkhutbah lalu menyembelih kurbannya dan bersabda : “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihan yang lain sebagai penggantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelih maka sembelihlah dengan nama Allah” {Muttafaq Alaih]

[3]. Hadits Anas bin Malik, beliau berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barangsiapa yang telah menyembelih sebelum shalat, maka ulangi lagi” [Muttafaq Alaih]

[4]. Hadits Jabir bin Abdillah, beliau berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat di hari Nahar (Iedul Adha) di Madinah. Lalu beberapa orang maju dan menyembelih (sembelihannya) dalam keadaan menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih. Lalu Nabi memerintahkan orang yang menyembelih sebelum Beliau untuk mengulangi sembelihan yang lainnya, dan jangan menyembelih sampai Nabi menyembelih” [9]

Hadits-hadits ini jelas menunjukkan kewajiban kurban. Sebab pada hadits-hadits tersebut terdapat dua hal yang menunjukkan wajib. Pertama : kata perintah, dan Kedua : perintah mengulangi. Tentunya, sesuatu yang bukan wajib, tidak diperintahkan untuk mengulanginya.

Ketiga hadits diatas dikomentari Ibnu Hajar dengan pernyataannya : “Orang yang mewajibkan kurban berdalil dengan adanya perintah mengulangi penyembelihan. Maka hal ini dibantah dengan menyatakan, bahwa yang dimaksud adalah penjelasan syarat penyembelihan kurban yang disyariatkan. Ini seperti pernyataan orang yang shalat sunnah Dhuha sebelum matahari terbit. Jika matahri sudah terbit, maka ulangi shalat kamu” [10]

[5]. Hadits Abu Hurairah, beliau berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang memiliki kemampuan (keluasan rizki) dan tidak menyembelih maka jangan dekati tampat shalat kami” [11]

Hadits ini jelas menunjukkan ancaman kepada orang yang memiliki kemampuan dan enggan menyembelih kurban. Tentunya, Rasulullah tidak akan berbuat demikian, kecuali menunjukkan bahwa itu hukumnya wajib.

Pendapat yang tidak mewajibkan menyatakan, bahwa hadits ini mauquf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah dalam perkara ini. Hal ini dijawab oleh Syaikh Al-Albani dalam pernyataan beliau : “Hadits ini diriwayatkan secara mauquf oleh Ibnu Wahab. Namun ziyadah tsiqah ini diterima. Abu Abdurahman Al- Muqri sebagai sangat tsiqah (kredibel)” [12]

Kemudian, pendapat yang tidak mewajibkan menjawab, anggap saja haditsnya hasan, namun juga tidak tegas dalam menunjukkan kewajibannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar : “Yang menjadi dasar yang kuat, yang dipegangi oleh pendapat yang mewajibkan, ialah hadits Abu Hurairah ini. Namun diperselisihkan apakah marfu atau mauquf? Mauquf lebih dekat kepada kebenaran, sebagaimana pendapat Ath-Thahawi dan selainnya. Walaupun marfu’, hadits ini juga tidak tegas dalam menunjukkan wajibnya” [13]

[6]. Hadits Mikhnaf bin Sulaim, ia berkata : “Kami bersama Rasulullah dan Beliau wukuf di arafah, lalu berkata, “Wahai, manusia. Sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap tahunnya kurban dan ‘atirah”. Beliau berkata, “Tahukah kalian, apakah ‘atirah itu? Yaitu yang dikatakan orang rajabiyah” [14]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Demikian juga orang yang mewajibakan berhujjah dengan hadits Mikhnaf bin Sulaim ini yang diriwayatkan Ahmad dan imam yang empat dengan sanad yang kuat, namun tidak ada hujjah disana, karena shighahnya (katanya) tidak tegas menunjukkan wajib secara muthlak, dan juga disebutkan bersamanya ‘al-athirah’ yang tidak dianggap wajib oleh orang yang berpendapat wajibnya kurban” [15]

Dalil Pendapat Kedua
[1]. Hadits Ummu Salamah, beliau berkata : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban, maka jangan memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya” [16]

Imam Syafi’i berkata : “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa kurban tidak wajib, dengan dasar sabda Nabi. Beliau menyerahkan kepada kehendak. Seandainya memang wajib, tentunya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan “maka janganlah memortong rambutnya sampai menyembelih” [17]

Pendapat yang mewajibkan, membantah dalil ini dengan menyatakan : Hadits ini bukan berarti menunjukkan tidak wajibnya kurban secara muthlak, karena kami mewajibkan dengan syarat mampu. Demikian juga hadts ini dapat dipahami dengan makna orang yang ingin menyembelih dengan sebab memiliki kemampuan, maka jangan mengambil (memotong) rambut dan kukunya sampai menyembelih, dengan dalil riwayat lain yang diriwayatkan Imam Muslim yang tidak menyebutkan kata (arada), yaitu sabda Rasulullah.

“Artinya : Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelih dan tampak hilial Dzulhijjah, maka jangan memotong sedikitpun rambut dan kukunya sampai menyembelih” [18]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Orang yang tidak mewajibkan, tidak memiliki nash dalam hal ini. Mereka menyatakan, kewajiban tidak disandarkan kepada kehendak (iradah). Dmeikian ini adalah pernyataan global, karena memang kewajiban tidak diserahkan kepada kehendak hamba, sehingga dikatakan jika kamu mau, berbuatlah. Namun, terkadang kewajiban disandarkan kepada syarat untuk menjelaskan hukumnya, seperti firman Allah.

“Artinya : Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah” [Al-Maidah : 6]

Dan mereka mengartikannya. Jika kalian ingin melaksanakan dan memaknakan. Jika ingin membaca Al-Qur’an, maka berta’awudz. Padahal thaharah, merupakan wajib, dan membaca Al-Qur’an dalam shalat wajib juga” [19]

[2]. Hadits Jabir, beliau berkata : “Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Ied Al-Adha di Mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya. Beliau turun dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung, dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)” [20]

Mereka menyatakan : “Seandainya kurban diwajibkan, tentunya orang yang meninggalkannya berhak dihukum dan tidak bisa dianggap cukup. Lalu bagaimana dengan sembelihan Rasulullah tersebut ? Sehingga sabda beliau.

“hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati”

Yang disampaikan secara mutlak tanpa perincian ini merupakan dalil tidak wajibnya kurban.

Asy-Syaukani berkata : “Sisi pendalilan hadits ini dan yang semakna dengannya atas tidak wajibnya kurban ialah, secara dhahir menunjukkan bahwa kurban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya dan keluarganya, mencukupkan orang yang tidak menyembelih kurban, baik mampu atau tidak mampu. Hal ini mungkin dijawab, bahwa hadits “inni ‘ala kulli ahli baity fii kulli aamin udhhiyah” yang menunjukkan kewajiban menyembelih kurban bagi ahli bait yang mampu, menjadi indikator bahwa kurban Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut untuk orang yang tidak mampu saja. Seandainya benar yang disampaikan Al-Mudda’i (pendapat yang tidak mewajibkan,-pent), maka tidak dapat menjadi dalil tidak wajibnya kurban. Karena, titik perselisihannya adalah pada orang yang menyembelih untuk dirinya sendiri, dan bukan orang yang disembelihkan orang lain. Sehingga tidak wajibnya pada orang yang ada pada zaman Beliau dari umat ini, mengharuskan tidak wajibnya pada orang yang berada di luar zaman Beliau” [21]

[3]. Atsar Abu Bakr dan Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sarihah Al-Ghifari, beliau berkata. “Aku mendapati Abu Bakar atau melihat Abu Bakr dan Umar tidak menyembelih kurban –dalam sebagian hadits mereka- khawatir dijadikan panutan” [22]

Seandainya kurban diwajibkan, tentu keduanya orang yang pantas mengamalkannya. Akan tetapi, keduanya memahami hukum kurban tersebut tidak wajib.

Pendapat Yang Rajih
Syaikh Muhammad Al-Amin Al-Syinqithi berkata : “Saya telah meneliti dalil-dalil sunnah pendapat yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan, dan keadaannya dalam pandangan kami. Bahwa tidak ada satupun dalil dari kedua pendapat tersebut yang tegas, pasti dan selamat dari bantahan, baik yang menunjukkan wajib maupun yang tidak wajib”. Kemudian Syaikh berkata : “Yang rajih bagi saya dalam perkara seperti ini, yang tidak jelas penunjukkan nash-nash kepada satu hal tertentu dengan tegas dan jelas adalah berusaha sekuat mungkin keluar dari khilaf. Sehingga, berkurban bila mampu, karena Nabi bersabda, “Tinggalkanlah yang ragu kepada yang tidak ragu. “. Sepatutnya, seseorang tidak meninggalkanya bila mampu, karena menunaikannya itu sudah pasti menghilangkan tanggung jawabnya, Wallahu a’lam” [23]

Yang rajih –wallahu a’lam- dalam permasalahan ini, yaitu pendapat jumhur ulama. Karena seandainya tidak ada satu pun dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaiahi wa sallam yang secara pasti menunjukkan rajihnya salah satu pendapat tersebut, namun amalan Abu Bakr dan Umar dapat dijadikan faktor yang dapat merajihkan pendapat jumhur. Sebab hal ini merupakan pengamalan perintah Rasulullah dalam hadits Irbadh bin Sariyah yang berbunyi.

“Artinya : Sungguh, barangsiapa diantara kalian yang hidup sesudahku, maka akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya untuk memegangi sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin.

Keduanya termasuk dari Khulafa Ar-Rasyidin menurut kesepakatan kaum muslimin. Hal ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz : “Karena jika mereka mengikuti Abu Bakr dan Umar, niscaya mendapati petunjuk”.

Juga adanya riwayat atsar dari Ibnu Umar, Abu Mas’ud Al-Anshari dan Ibnu Abbas yang menunjukkan tidak wajibnya kurban. Wallahu a’lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Kholid Syamhudi Lc. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Abdul Aziz bin Muhammad Ali Salman, Ithaf Al-Muslimin Bima Tayassara Min Ahkam Ad-Din, Ilmun wa Dalilun, Cet. II, Th 1403H, hal. 2/505
[2]. Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni (11/94) dan Ibnu Hajar, Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, tanpa cetakan dan tahun, Al-Maktabah Al-Salafiyah 10/3
[3]. Lihar Dr Ahmad Muwafi, Taisir Al-Fiqhi Al-Jami Li Likhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, Cetakan Pertama, Tah 1416H, Dar Ibnu Al-Jauzi, Dammam, KSA (3/1210)
[4]. Lihat makalah Abu Bakr Al-Baghdadi yang yang berjudul Juzun Fi Udhhiyah wa hukmu Ikhrajiha An Balad Al-Mudhahi, Majalah Al-Hikmah, hal 22 tanpa edisi dan tahun
[5]. Lihat Taisir Al-Fqh, op.cit (3/1208) menukil dari Majmu Fatawa (23/162)
[6]. Lihat Ibnu Utsaimin, Syarhu Al-Mumti Ala Zaad Al-Mustaqni, Tahqiq Khalid bin Ali Al-Musyaiqih dan Sulaiman Aba Khail, Cet 1, Th 1416H, Muassasah Asaam, Riyadh KSA (7/519)
[7]. Lihat An-Nawawi, Majmu Syarhu Al-Muhadzdzab, Tahqiq Muhammad Najib Al-Muthi’i, tanpa cetakan dan tahun, Daar Ihya Al-Turats Al-Arabi (8/354).
[5]. Lihat Fathul Bari, op.cit (10/3)
[9]. Diriwayatkan Imam Muslim No. 1.964
[10]. Fathul Bari (10/4)
[11]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. 3.123 dan Al-Khathib (8/338) dari Zaid bin Al-Hubab,Al-Hakim (2/389) dan Ahmad (2/321) dari Abdullah bin Yazid Al-Muqri dan Abu Bakr Asy-Syairazi dalam Sab’at Majalis Min Al-Amani dari Muhammad bin Sa’id. Mereka bertiga meriwayatkan dari Abdullah bin Iyasy dari Abdurrahman Al-A’raj dari Abu Hurairah secara marfu. Diambil dari Takhrij Ahadits Musykil Al-Faqr, karya Al-Albani, Cetakan Pertama,Tahun 1405H, Al-Maktab Al-Islami Beirut, hal.67-68
[12]. Takhrij Ahadits Musykil Al-Fqr, op.cit,hal.68
[13]. Fathul Bari, op.cit 910/3)
[14]. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (4/215), Abu Dawud no.2.788, At-Tirmidzi no.1.518, An-Nasa’i 7/167 dan Ibnu Majah no. 3125. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah no.1478 dan Shahih Al-Jaami.
[15]. Fathul Bari op.cit 10/4
[16]. Diriwayatkan Muslim no. 5089
[17]. Lihat Majmu Syarhu Al-Muhadzdzab op.cit 8/356
[18]. Diriwayatkan Imam Muslim no. 5093
[19]. Majmu Fatawa 23/164
[20]. Syaikh Al-Albani berkata : Haditsn shahih diriwayatkan Abu Daud 2810 dan Tirmidzi 1/287, lihat Irwa Al-Gahlil 4/349 no. 1138
[21]. Muhammad bin Ali Al-Syaukani, Nailul Authar Min Ahadits Sayidil Ahyaar Syarhu Muntaqa Al-Akhbaar, tahqiq Muhamamd Salim Hasyim, cetakan pertama tahun 1415H. Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut hal. 5/117
[22]. Diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 9/295 dan dishahihkan Al-Albani.Lihat Irwa Al-Ghalil Fi Takhrij Ahaadist Manaar Al-Sabil, karya Syaikh Al-Albani cetakan ke 2 tahun 1405H, Al-Maktab Al-Islami no. 1139 hal 4/355
[23]. Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Jakni Al-Syinqithi, Adhwaa Al-Bayaan Fi Idhah Al-Qur’an bin Qur’an, tanpa tahun dan cetakan, Alam Al-Kutub Beiurt 5/618

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Design by Visit Original Post Islamic2 Template